222
Apakah khabar/informasi AHAD bisa dijadikan rujukan ilmu
Dalam hal ini ada tiga pendapat :
1. Khabarul ahad bisa dijadikan ilmu sepenuhnya dan tanpa ada pembatasan
2. Khabarul ahad bisa dijadikan ilmu dengan disertai syarat-syarat
3. Khabarul ahad tidak bisa dijadikan ilmu sama sekali.
Pendapat pertama
Menurut pendapat pertama ini, bahwa khabarul ahad bisa dijadikan ilmu dan berlaku pada setiap riwayat yang dibawa oleh setiap rawi.
Al Amidi (wafat 631 H) menjelaskan hal ini dan menisbahkan pendapat ini pada sebagian ulama dari kalangan Dhahiri dan Imam Ahmad Bin Hanbal (wafat 241 H) dalam satu dari dua riwayat yang dinisbahkan beliau berkenaan tentang hal ini. (Buka Al Ihkam (I/234) karya Al Amidi, Al Burhan Fi Ushulil Fiqh (I/606) karya Abu Ma’ali Al Juwayni, dan At Taqrir Wat Tahbir (II/268) karya Ibnu Amirul Haj).
Maka jawaban (bantahan) terhadap pendapat ini adalah, satu yang tidak dapat dibayangkan bila seseorang yang memiliki ‘aql akan menyetujui semua yang ia dengar, padahal kita tahu bahwa disana ada orang-orang yang pendusta, ada orang-orang yang pelupa, dan yang saling bertentangan satu sama lain pada apa yang mereka riwayatkan.
Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) berkata:”Sejak tidak ada seorang pun dari kalangan ahlul ‘aql yang tidak berkata bahwa riwayat dari setiap rawi bisa dipakai sebagai ilmu (tanpa dipilah-pilah), maka banyak orang (ulama) yang telah mengerahkan diri-diri mereka untuk membantah pernyataan ini”.(Al Muswaddah Fi Ushulil Fiqh hal.244 karya Ibnu Taimiyah)
Sedangkan dari kalangan madzhab Dhahiri, maka Imam mereka, yaitu Abu Muhammad Ibnu Hazm (wafat 456 H) telah dengan jelas menyatakan bahwa setiap riwayat dari rawi yang tsiqah, maka semuanya itu kembali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kebenaran yang pasti, yang wajib diterapkan pada amal dan ilmu. (Al Ihkam Fi Ushulil Ahkam (I/14) karya Ibnu Hazm)
Sedangkan pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal, maka perkataan beliau dalam hal Al Jarh wat Ta’dil sudah sangat ma’ruf, bahwa beliau menolak khabar-khabar dari dhu’afa (rawi-rawi lemah), yang perkataannya dalam hal itu sangat banyak.
Sedangkan pendapat Al Amidi, dan yang lainnya dari kalangan Ahlul Kalam dan Ushuliyyin, seperti yang telah dijelaskan, hanyalah membuat awan mendung dan menyebabkan kekhawatiran yang keliru tentang hal ini.
Oleh karena itu, khabarul wahid akan dihukumi apakah dia itu benar atau salah tergantung pad penilaian terhadap rawi-rawinya itu sendiri. Hal itu bisa menjadi jelas bahwa dia (perawi) itu berbohong, bisa juga kelihatannya seperti bohong sehingga dalam menghukuminya menjadi tidak jelas, apakah riwayat itu shahih atau tidak. Di lain pihak, hal ini menjadi jelas bahwa riwayat ini benar walaupun tanpa harus menyatakannya dengan jelas, atau hal ini sungguh pasti benar yang tidak ada keraguan tentangnya. Semua itu tergantung pada bukti. Maka hal ini bukanlah menjadi alasan bahwa khabar-khabar dari setiap rawi bisa dijadikan ilmu (tanpa penelitian terlebih dahulu), seperti juga tidka diperbolehkannya untuk tidak membatasinya bahwa khabarul ahad bisa menjadi ilmu. (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/359-360) oleh Ibnu Qayyim)
Pendapat Kedua
Menurut pendapat kedua, yaitu bahwa khabarul ahad bisa menjadi ilmu dengan disertai dengan syarat-syarat. Dan inilah yang benar.
Syarat-syaratnya itu adalah khabarul ahad itu mempunyai qara’in. Qara’in adalah jamak dari qarinah, yaitu hal yang mengindikasikan apa yang diharapkan dan benar, terutama ditekankan pada hal yang dimaksud.(At Ta’rifat hal.183 karya Al Jurjani)
Qarinah ini bisa menjadi sesuatu yang berhubungan dengan khabarnya, dan bisa juga pada rawinya, atau bisa juga pada keduanya. Dimasukkan juga dalam hal ini yaitu khabar mustafid, yang asalnya diriwayatkan oleh satu rawi yang kemudian diteruskan oleh banyak rawi-rawi lainnya, sehingga menjadi masyhur. Juga bisa dimasukkan dalam hal qarinah ini yaitu khabar yang diterima oleh ummat, atau yang diterima oleh ulama Ahlul Hadits, seperti apa-apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari atau Muslim dan yang selainnya. Dan bisa juga dimasukkan dalam qarinah ini, yaitu khabar dengan isnad yang mereka itu (perawi) adalah imamnya dalam hal ketelitian dan ingatan, contoh: Malik meriwayarkan dari Nafi’, Nafi’ meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar. Maka khabar seperti ini dan yang lainnya, bisa dijadikan sebagai ilmu menurut pendapat dari jumhur ulama Ahlul Hadits, Ahlul Ushul, Ahlul Kalam dan sebagian Fuqaha dari ummat ini, yang tidak ada ketidaksetujuan di antara mereka tentang hal ini. (Raf’ul Malam ‘Anil A’imatil A’lam (hal.63) karya Ibnu Taimiyah, Fathul Mughits (I/51) karya Al Hafidh As Sakhawi)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:”Untuk jenis kedua dari khabar, yaitu yang telah diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah dan yang lainnya, walaupun dalam matan dan maknanya bukanlah mutawwatir (maksudnya adalah khabrul ahad), tetapi bila ummat telah menerimanya, beramal dengannya atau menyetujuinya, maka hal ini adalah merupakan ilmul yaqini seperti yang telah dipahami oleh ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dari kalangan salaf maupun khalaf. Untuk kalangan salaf, maka tidak ada perbedaan di antara mereka dalam hal ini, begitu pun pula di kalangan khalaf, dan hal ini adalah merupakan madzhab dari para ulama yang berasal dari pengikut empat madzhab. Permasalahan ini bisa ditemukan dalam kitab-kitab Malikiyyah, Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyyah”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Qayyim dalam Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/372-373), dan Majmu’ul Fatawa (VIII/41)
Ibnu Qayyim meriwayatkan dari Ibnu Khawazimdad (seorang ulama Malikiyyah), dia menjelaskan bahwa khabarul ahad tidaklah diriwayatkan kecuali oleh satu atau dua orang, kemudian dia berkata:”Dan melalui jenis kahabar ini, al ilmud dururi bisa dicapai, dan Malik telah secara tertulis menyatakan hal ini”. (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/362-363) dan At Tamhid Lima Fil Muwatha’ Minal Ma’ni Wal Asanid (I/ karya Ibnu Abdil Bar, Al Ihkam (I/132) karya Ibnu Hazm).
Al Imam Asy Syaukani berkata dalam Irsyadul Fuhul hal.48:”Ibnu Khawazimdad telah meriwayatkannya dari Malik bin Anas, dan membahasnya secara panjang lebar.”
Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani (wafat 852 H) berkata:”Al Qadhi Abu Nashr ‘Abdul Wahhab Al Maliki menjelaskan dengan pasti bahwa riwayat itu shahih, yang berarti hal itu diterima. (An Nukat I/373)
Al Imam Asy Syafi’i (wafat 204 H) berkata:”jika rawi yang tsiqah meriwayatkan dari rawi yang tsiqah lainnya, maka hal itu dikembalikan dikembalikan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan hal ini adalah tsabit berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Al Umm VII/177)
Ibnu Qayyim mengutip perkataan Imam Asy Syafi’i:”Dan apa yang diriwayatkan oleh satu rawi ke satu rawi yang lainnya, kemudian kita tahu hal itu shahih bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam, yaitu berdasarkan pada kebenaran ucapan rawi tersebut pada kita” (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/365-366)
Al Qadhi Abu Ya’ala (wafat 345 H) meriwayatkan dari Abu Bakr Al Marudhi yang berkata:”Aku berkata pada Abu ‘Abdullah (yaitu Imam Ahmad) bahwa ada orang yang berkata bahwa khabarul ahad hanya diwajibkan pada amalan saja tapi tidak diwajibkan pada ilmu. Maka ia menolaknya dan berkata:’Aku tidak tahu tentang hal (perkataan) ini'”. Abu Ya’la berkata:”Apa yang telah nyata dari hal ini bahwa dia (Imam Ahmad) menyatakan bahwa khabarul ahad sama-sama diwajibkan pada ilmu dan amal”. (At Taqyid Wal ‘Iddah hal.2
Imam Ahmad berkata mengenai hadits tentang Ar Ru’yah (melihat Allah di hari akhir):”Kami beriman pada hal itu dan yaqin bahwa hal itu adalah benar”, Abu Ya’la berkata:”Demikian apa yang beliau nyatakan dengan jelas bahwa hal itu (hadits ahad) bisa dijadikan ilmu. Dan apa yang nyata dari kalimat itu adalah perkataan dari sekelompok shahabat kita yang menyatakan bahwa khabarul wahid dalam hal syari’ah diwajibkan pula pada ilmu, dan hal ini, menurutku, adalah benar dari perkataan Imam Ahmad dan hal ini diwajibkan pada ilmu berdasarkan istid-lal, bukan berdasarkan pada dururah”.
Al Majd berkata:”Dan ada riwayat dari Ahmad yang menunjukkan bahwa hal ini (khabarul ahad) bisa menjadi qath’iy jika shahih. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh shahabat kita”. Syihab berkata:”Dan hal ini telah didukung oleh Al Qadhi Abu Ya’la dalam Al Kifayah”.
Abu Muhammad Ibnu Hazm berkata:”Abu Sulaiman Daud Adh Dhahiri, Al Hasan bin ‘Ali Al Karabisi dan Al Harits bin ‘Asad Al Muhasibi dan yang lainnya telah menyatakan bahwa khabarul wahid yang diriwayatkan dari rawi yang tsiqah, maka hal itu dikembalikan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengharuskannya pada amalan dan ilmu. Dan ini adalah ucapan kami juga”. Abu Muhammad mendukung pendapat ini, membahasnya dengan panjang lebar dab membantah syubhat-syubhat yang berlawanan dengan apa yang dia pegang ini.
Abu ‘Amr Ibnush Shalah (wafat 643 H) menjelaskan dalam Muqaddimah-nya:”Bahwa hadits yang Al Bukhari dan Muslim bersetuju diatasnya, adalah qath’iy tsubut (pasti shahihnya) dan mereupakan al ilmul yaqini an nadhari, hal ini adalah sebagai bantahan terhadap perkataan orang-orang yang menolak hadits ahad, yang mencari-cari pembuktian bahwa hal ini hanyalah dhan saja, dan kalaupun ummat menerima hal ini maka hal ini disebabkan karena mereka beramal berdasarkan pada dhan saja padahal dhan bisa saja salah. Aku dulunya berpegang pada pendapat ini dan berfikir inilah yang benar. Tapi kemudian ini menjadi nyata bagiku bahwa pendapat yang sebelumnya (tentang hadits yang disetujui oleh Al Bukhari dan Muslim) adalah yang benar. Sebab dhan dari seseorang yang terlindungi dari kesalahan, tidak bisa disebut salah. Dan ijma’nya ummat terlindung dari kesalahan. Inilah yang benar dan bermanfaat. Dan pelajaran yang dapat diambil dari hal ini adalah khabar-khabar yang diriwayatkan sendiri oleh Al Bukhari, sendiri oleh Muslim, maka jatuhnya hal itu pada pernyataan qath’iy. Sebab ummt telah menerima kedua kitabnya, kecuali untuk beberap perkataan, yang para ulama telah berbicara (mengkritik) tentangnya oleh para Huffadh, seperti Ad Daraquthni dan yang lain-lain, yang sudah ma’ruf bagi orang-orang yang bergelut dalam bidang (hadits) ini”.
Ibnu Taimiyah berkata (ketika menjelaskan pokok khabarul ahad yang bisa menjadi ilmu):”Maka Abu ‘Amr Ibnush Shalah telah menjelaskan pada perkataannya yang pertama (bahwa hadits yang disetujui oleh Al Bukhari dan Muslim bisa dijadikan ilmu) dan dia menyepakatinya dan menyatakan bahwa hal itu adalah benar. Namun, dia tidak mengetahui bahwa sebenarnya banyak orang yang berpegang dengan pendapat ini, dalam artian hal ini dikuatkan oleh mereka meskipun harus didasarkan pada keshahihan khabar yang diminta”.
Oleh karena itu As Sakhawi (wafat 902 H) berkata dalam FatHul Mughits (I/51):”Setelah dia (Ibnush Shalah) mendahului perkataan tentang khabar ahad maka perkataannya itu telah disetujui oleh jumHur, dari kalangan Muhadditsin, Ushuliyyin dan sebagian besar salaf. Kemudian hal yang sama telah dinyatakan juga oleh yang lainnya berdasarkan khabar-khabar yang terkandung dalam dua kitab shahih”.
Al ‘Iraqi (wafat 806 H) mengindikasikan bahwa sebenarnya Ibnush Shalah telah didahului mengenai khabarul ahad ini oleh Al Hafidh Abu Fadl Muhammad bin Thahir Al Maqdisi dan Abu Nashr ‘Abdurrahman bin ‘AbdulKhaliq bin Yusuf, yang keduanya sama-sama berkata:”Hadits hada adalah qath’iy”.
Abu ‘Amr Ibnush Shalah juga telah disepakati oleh sekelompok ulama setelah jamannya, seperti As Sakhawi, Syaikhul Islam Al Balqini dalam Al Mahasinul Istilah Wa Tadamin Kitab Ibnush Shalah (hal.101), Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam An Nukat ‘Ala Ibnish Shalah (I/371), Al Hafidh Ibnu Katsir dalam Al Ba’itsul Hatsits Syarh Ikhtishar Ulumil Hadits (hal.37) dan Al Hafidh Jalaluddin As Suyuthi (wafat 911 H) dalam Tadribur Rawi (I/134).
Syaikh Ahmad Syakir berkata:”Dan yang terbukti benar berdasarkan pada dasar yang shahih, yaitu apa yang dipegang oleh Ibnu Hazm dan yang lainnya yang sependapat dengannya, bahwa hadits yang shahih bisa menjadi ilmul qath’iy, baik yang ada pada dua kitab shahih atau lainnya. Ilmul Yaqini ini adalah Ilmun Nadhari Burhani. Ilmu ini tidaklah diketahui, kecuali oleh para ulama yang menyelidiki atau meneliti dengan sangat mendalam tentang ilmu hadits, yang mempunyai pengetahun yang banyak tentang kondisi dari para rawai dan kelemahan-kelemahannya”. (Al Ba’itsul Hatsits hal.39)
Bukti akan benarnya pendapat yang kedua ini sangatlah banyak, Alhamdulillah, hanya saja bukan disini tempatnya untuk menjelaskan semuanya. Diantara bukti atau dalil akan benarnya hal ini adalah:
1. Pembedaan antara khabar mutawatir dengan khabar ahad dengantujuan supaya khabarul ahad tidak bisa dijadikan ilmu, adalah sesuatu hal yang baru, yang tidak pernah dicontohkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah, dan tidak diketahui dari kalangan shahabat atau tabi’in. Yang benar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang telah disetujui oleh ummat berdasarkan pada apa yang telah beliau sampaikan, tanpa ada atau perlunya hal itu telah diberitakan oleh jumlah mutawatir (Ar Risalah (hal.436) karya Imam Asy Syafi’i)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mempercayai apa yang telah diberitakan oleh para shahabat pada beliau, begitu pun pula sebaliknya, para shahabat pub saling percaya satu sama lainnya berdasarkan pada apa yang mereka riwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada di kalangan mereka yang berkata:”Khabarmu itu ahad, jadi tidak bisa dijadikan ilmu sama sekali, sampai khabarmu itu menjadi mutawatir”. Memang di kalangan para shahabat pun kadang-kadang tidak langsung menerima khabar yang disampaikan dalam hal-hal tertentu sampai didukung oleh khabar dari shahabat lainnya, namun hal ini bukanlah merupaka dalil untuk menolak hadits ahad. (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/361) karya Ibnu Qayyim)
Begitu pun juga Tabi’in, baik secara berkelompok maupun perorangan, yang bertemu dengan shahabat, mereka menimba ilmu dari shahabat dan mempercayainya, tanpa berfikir apakah itu mutawatir atau bukan. Begitu juga pada setiap Imam atau ulama yang duduk dan mengajari murid-muridnya, para muridnya percaya pada apa yang dikatakannya, sedangkan mereka (para Imam atau ulama bersendirian). Maka ucapan-ucapan yang menyatakan bahwa khabarul ahad tidak dapat dijadikan sebagai ilmu, maka hal itu akan menghancurkan baik masalah agama maupun dunia, dan hal ini akan mengoyak-ngoyak sampai hancur ijma’ para shahabat, tabi’in dan yang datang setelah mereka dari kalangan Ahlul Ilmi. (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/362) dan Al Ihkam (I/150-151)
2. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengirim shahabat secara orang per orang kepada raja-raja dan penguasa untuk menyampaikan darinya firman Allah. Jika khabar dari para shahabat itu tidak bisa dijadikan sebagai ilmu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengirim mereka, dan hal ini adalah kesia-siaan. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlepas dari hal semacam itu.
3. Bahwa kaum muslimin pada waktu itu shalat fajr di Masjid Quba yang kemudian diberitahu oleh seseorang bahwa qiblahnya telah dirubah menjadi menghadap Ka’bah, dan mereka menerima pemberitahuan ini. Ini adalah merupakan bukti nyata walaupun pada sebelumnya mereka berada pada suatu yang qath’iy, namun mereka merubah qiblahnya kepada qiblahnya yang baru dalam rangka mentaati perintah Allah dan rasul-Nya (yang juga merupakan suatu yang qath’iy), walaupun hal ini diberitahukan oleh satu orang. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengecam hal itu, malah mereka dipuji oleh beliau karena perbuatannya itu. (Ar Risalah (hal.406-408), Al Muswaddah (hal.247). Riwayat tentang qiblah ini diriwayatkan oleh Al Bukhari VIII/174)
Pendapat Ketiga
Menurut pendapat ketiga ini, yaitu hadits ahad tidak bisa dijadikan ilmu sama sekali, walaupun disertai dengan qarinah ataupun tidak.
Ini adalah pendapatnya sebagian dari kalangan Ahlul Kalam dan Ushuliyyin, seperti Abu Ma’alai Al Juwayni (wafat 478 H) dalam Al Burhan Fi Ushulil Fiqh (I/599), Al Ghazali (wafat 505 H) dalam Al Mustasfa (I/145), Abu Manshur Al Baghdadi (wafat 462 H) dalam Al Farqu Bainal Firaq (hal.325-326) dan Ushuluddin (hal.12), Al Baqilani (wafat 403 H) dalam At Tamhid Fi Radd ‘Alal Mulhidah Mu’athilah War Rafidhah Wal Khawarij Wal Mu’tazilah (hal.164). Dan semua itu dinukil oleh Ibnul Hajib (wafat 555 H) dalam At Taqrir Wat Tahbir (II/268) dengan menyatakan bahwa hal itu adalah ijma’ dari jumhur ulama Ahlul Fiqh dan Ahlul Hadits. Dan pernyataannya ini perlu diuji kembali kebenarannya, berdasar pada apa yang telah dibahas sebelumnya (pendapat kedua) dan berdasarkan pada pembahasan yang akan datang, insya Allah.
Dan hal ini juga diriwayatkan atau dinukilkan satu dari dua perkataan yang dinisbahkan pada Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H) yang diriwayatkan oleh Al ‘Atsram dalam Ma’ani’ul Atsar, dimana beliau (Imam Ahmad) berkata:”Ketika datang khabar (yaitu khabar ahad) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan isnad yag shahih, yang didalamnya terkandung ahkam atau sesuatu yang diwajibkan, maka aku beramal padanya dan menjadikannya sebagai bagian dari dienku terhadap Allah. Tapi, aku tidak menyatakan kesaksian bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan yang demikian” (Al Muswaddah (hal.241), Al ‘Iddah (III/898) karya Abu Ya’la. Abu Ya’la berkata:”Ini jelas bahwa beliau menyatakan ini (khabar ahad) bukan qath’iy”).
Juga dinisbahkan padanya bahwa beliau berkata:”Dan kami tidak memberikan kesaksian tentang seseorang dari Ahlul Qiblah, yang dia berada di neraka dikarenakan dosa yang dia lakukan, maupun dosa besar yang menjadikan dia durhaka, bila didasarkan pada hadits seperti itu (hadits ahad), walaupun kami menyetujuinya dan mempunyai ilmu tentang hal itu, tapi kami tidak memberikan kesaksian. Begitu pun pula kami tidak memberikan kesaksian bahwa seseorang itu berada di surga berdasarkan pada amal shalihnya, ataupun karena kebaikan yang telah dia lakukan, kecuali berdasarkan pada khabar seperti itu (khabar ahad). Maka kami tetap menyatakan hal ini seperti yang diriwayatkan tapi kami tidak menetapkannya” (Al ‘Iddah (III/899), Abu Ya’la berkata:”Dan pengertian yang ada padaku, wallahu a’lam, bahwa beliau tidak mengatakan bahwa khabarul ahad itu adalah qath’iy).
Maka jawaban (bantahan) terhadap riwayat Al ‘Atsram itu ada beberapa hal:
1. Al ‘Atsram bersendirian dalam meriwayatkan khabr ini. Ini tidak ditemukan dalam kitabnya Al Masa’il, ataupun As Sunnah. Malah ini dinukilkan oleh Abu Ya’la yang menyatakan bahwa khabar ini dia temukan di kitab Ma’ani’ul Atsar (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/370).
2. Al ‘Atsram tidak menjelaskan bahwa dia mendengar secara langsung khabar ini dari Imam Ahmad, bisa saja yang dia dengar ini berasal dari seseorang yang telah salah dan keliru dalam meriwayatkannya, sebab tidak ada dari murid-muridnya Imam Ahmad dan shahabatnya yang meriwayatkan hal ini darinya. (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/370-371)
3. Apa yang benar yang telah diriwayatkan dari Imam Ahmad adalah kebalikannya, seperti beliau menyatakan kesaksian akan hal hal Al ‘Asyarah Al Mubasyarah (sepuluh surga yang dijanjikan), padahal riwayat tentang hal itu adalah khabarul ahad (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/371). Persaksian Imam Ahmad tentang Al ‘Asyarah Al Mubasyarah dapat ditemukan pada kitab Thabaqatul Hanabilah (I/289) oleh Ibnu Abi Ya’la.
4. Boleh jadi apa yang dinyatakan oleh Imam Ahmad itu dalam rangka kehatian-hatian. Hal ini sering beliau lakukan dalam menyatakan sesuatu apakah itu dilarang atau diwajibkan, dan beliau selalu berhati-hati dan menahan diri dari menggunakan istilah haram atau wajib. Maka beliau kan berkata “Aku membencinya” atau “aku menganjurkannya” (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/371).
Ibnu Taimiyah mengomentari riwayat yang kedua yang dinisbahkan pada Imam Ahmad, beliau berkata:”Kata ‘menetapkan’ adalah sudah ma’ruf. Pengertiannya adalah kita tidak bersaksi dengan berdasarkan pada keterangan orang (tanpa menyelidikinya). Kemudian, beliau (Imam Ahmad) juga berkata ‘kami telah mempunyai seperti yang diriwayatkan ini’, maka perkataannya ini adalah merupakan bukti bahwa hal itu bisa menjadi ilmu. Dan dari prinsip ini juga beliau bersaksi akan sepuluh surga yang dijanjikan itu berdasarkan pada khabar tentang hal itu, padahal riwayatnya adalah ahad. Kemudian beliau juga berkata ‘aku menyatakan kesaksian’ dan ‘aku telah mempunyai ilmu’, pengertiannya adalah satu dan sama saja, dan ini adalah bukti bahwa beliau mengatakan kesaksian berdasarkan pada khabar ahad” (Al Muswaddah Fi Ushulil Fiqh hal.242)
Imamul Haramain Abu Ma’ali Al Juwayni menjelaskan menjelaskan dalam Al Irsyad (hal.416-417), yang penjelasannya adalah kebalikan dari apa yang dia jelaskan di kitabnya yang lain, dia berkata:”Dan setiap khabar yang tidak mencapai tingkatan mutawatir, maka hal itu tidka bisa dijadikan sebagai ilmu, kecuali kalau disertai dengan qarinah yang menyatakan kuatnya hal itu, sebagai contoh, hal itu didukung oleh dalil ‘aqli atau hal ini didukung oleh peristiw ajaib (mu’jizat) yang menguatkan hal itu, dan demikian pula jika ummat menerima riwayat itu dan menjadikannya ijma’, maka kami tahu bahwa hal itu adalah benar adanya”. Maka perkataannya ini adalah kebalikan dari apa yang telah dijelaskan di kitab-kitabnya yang lain yang menjelaskan bahwa khabarul ahad tidak bisa dipakai sebagai ilmu sama sekali.
Dan Abu Manshur Al Baghdadi menyatakan bahwa khabarul mustafid (yaitu riwayat yang minimal diriwayatkan oleh tiga rawi pada sanadnya) bisa dijadikan sebagai ilmu dan tidak ada keraguan bahwa khabar mustafid bukanlah khabar mutawatir, kemudian dia membagi alasan penerimaannya itu menjadi empat hal, diantaranya adalah “khabar wahid itu diterima oleh ummat”, kemudian dia berkata lagi “dan setiap amalan dan ilmu bisa memakai khabr mustafid” (Ushuluddin hal.12-13)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan setelah menjelaskan posisi dari jumhur ulama salaf dan khalaf tentang bisa dipakainya hadits ahad sebagai ilmu, dan menjelaskan yang pertama kali mengatakan hal itu adalah Ibnush Shalah, kemudian beliau berkata:”Dan siapa saja yang keberatan akan hal ini, dari kalangan syaikh yang mempunyai ilmu dien, tapi tidak mempunyai ilmu yang cukup tentang hadits, kemudian mereka berfikir bahwa hal ini hanyalah perkataan Ibnush Shalah saja, dan tidak menganggapnya dari jumhur ulama. Maka mereka itu tidak mempunyai bukti akan perkataanya itu. Sebenarnya perkataan mereka itu hanyalah taqlid pada perkataannya Ibnul Hajib. Yang jika diurut ke atas lagi maka Ibnu Hajib ini mengikuti perkataannya Syaifuddin Al Amidi (wafat 631 H) dan juga Ibnul Khaththab Abu ‘Abdullah Al Fakhrurrazi (wafat 510 H). Dan bila lebih ke atas lagi, mereka itu mengikuti pendapatnya Al Ghazzali (wafat 505 H), AL Juwayni (wafat 478 H) dan Al Baqilani (wafat 403 H)”.(Dinukil oleh Ibnu Qayyim dalam Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/373-374)
Dan diantara para ulama yang keberatan dengan perkataanya Ibnush Shalah dan menyangkalnya adalah Al ‘Izz bin Abdussalam (wafat 660 H) dalam Tadribur Rawi (I/132), Ibnu Burhan (wafat 518 H) dalam Muqaddimah Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi (I/20). Ibnu Burhan adalah Abul Fath Ahmad bin ‘Ali bin Burhan, dikenal dengan sebutan Ibnul Jami, seorang faqih dari Baghdad. Dia belajar fiqh pada Ibnu ‘Aqil dan ahli dalam madzhab Ahmad, kemudian dia mengkritik Ibnu ‘Aqil pada beberapa masalah dan akhirnya ia beralih pada mdzhab Syafi’I, dan berhubungan erat dengan Al Ghazzali dan Asy Syasyi. Dia lahir pada tahun 479 H dan meninggal 518 H. (Al Bidayah wan Nihayah (XII/194) karya Ibnu Katsir, Al A’lam (I/167) karya Az Zarkali).
Dan satu lagi yang menentang Ibnush Shalah adalah An Nawawi (wafat 676 H) yang berkata setelah menukil ucapannya Ibnush Shalah:”Dan kebanyakan dari ulama muhaqiqqin yang utama telah berbeda pendapat dengan dia (Ibnush Shalah)”.(At Taqrib (I/132) karya An Nawawi, dan Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi (I/20)
Al Balqini berkata:”Apa yang telah dikatakan oleh An Nawawi dan Ibnu Abdissalam serta yang lainnya yang mengikuti mereka, maka perkataanya bukanlah suatu masalah”. (Mahasinul Istilah hal. 101). Kemudian ia menukil ucapan Ibnu Taimiyah yang menjelaskan posisi dari kalangan Salaf dan Khalaf mengenai hal ini, dan dari mereka adalah ahlul hadits imamnya dari kalangan pengikut empat mdzhab dan mayoritas ahlul kalam. (Hal ini seperti yang ternukil di Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/373-374), An Nukat (I/376-377), dan Al Ba’itsul Hatsits hal.3.
Sumber : Manhajul Istid-lal ‘Ala Masa’ilil I’tiqad ‘Inda Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (1/115-129).
URL :http://www.troid.org/artikel2/hadeeth/additionalinfo/aahaadnarration.htm
1. Khabarul ahad bisa dijadikan ilmu sepenuhnya dan tanpa ada pembatasan
2. Khabarul ahad bisa dijadikan ilmu dengan disertai syarat-syarat
3. Khabarul ahad tidak bisa dijadikan ilmu sama sekali.
Pendapat pertama
Menurut pendapat pertama ini, bahwa khabarul ahad bisa dijadikan ilmu dan berlaku pada setiap riwayat yang dibawa oleh setiap rawi.
Al Amidi (wafat 631 H) menjelaskan hal ini dan menisbahkan pendapat ini pada sebagian ulama dari kalangan Dhahiri dan Imam Ahmad Bin Hanbal (wafat 241 H) dalam satu dari dua riwayat yang dinisbahkan beliau berkenaan tentang hal ini. (Buka Al Ihkam (I/234) karya Al Amidi, Al Burhan Fi Ushulil Fiqh (I/606) karya Abu Ma’ali Al Juwayni, dan At Taqrir Wat Tahbir (II/268) karya Ibnu Amirul Haj).
Maka jawaban (bantahan) terhadap pendapat ini adalah, satu yang tidak dapat dibayangkan bila seseorang yang memiliki ‘aql akan menyetujui semua yang ia dengar, padahal kita tahu bahwa disana ada orang-orang yang pendusta, ada orang-orang yang pelupa, dan yang saling bertentangan satu sama lain pada apa yang mereka riwayatkan.
Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) berkata:”Sejak tidak ada seorang pun dari kalangan ahlul ‘aql yang tidak berkata bahwa riwayat dari setiap rawi bisa dipakai sebagai ilmu (tanpa dipilah-pilah), maka banyak orang (ulama) yang telah mengerahkan diri-diri mereka untuk membantah pernyataan ini”.(Al Muswaddah Fi Ushulil Fiqh hal.244 karya Ibnu Taimiyah)
Sedangkan dari kalangan madzhab Dhahiri, maka Imam mereka, yaitu Abu Muhammad Ibnu Hazm (wafat 456 H) telah dengan jelas menyatakan bahwa setiap riwayat dari rawi yang tsiqah, maka semuanya itu kembali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kebenaran yang pasti, yang wajib diterapkan pada amal dan ilmu. (Al Ihkam Fi Ushulil Ahkam (I/14) karya Ibnu Hazm)
Sedangkan pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal, maka perkataan beliau dalam hal Al Jarh wat Ta’dil sudah sangat ma’ruf, bahwa beliau menolak khabar-khabar dari dhu’afa (rawi-rawi lemah), yang perkataannya dalam hal itu sangat banyak.
Sedangkan pendapat Al Amidi, dan yang lainnya dari kalangan Ahlul Kalam dan Ushuliyyin, seperti yang telah dijelaskan, hanyalah membuat awan mendung dan menyebabkan kekhawatiran yang keliru tentang hal ini.
Oleh karena itu, khabarul wahid akan dihukumi apakah dia itu benar atau salah tergantung pad penilaian terhadap rawi-rawinya itu sendiri. Hal itu bisa menjadi jelas bahwa dia (perawi) itu berbohong, bisa juga kelihatannya seperti bohong sehingga dalam menghukuminya menjadi tidak jelas, apakah riwayat itu shahih atau tidak. Di lain pihak, hal ini menjadi jelas bahwa riwayat ini benar walaupun tanpa harus menyatakannya dengan jelas, atau hal ini sungguh pasti benar yang tidak ada keraguan tentangnya. Semua itu tergantung pada bukti. Maka hal ini bukanlah menjadi alasan bahwa khabar-khabar dari setiap rawi bisa dijadikan ilmu (tanpa penelitian terlebih dahulu), seperti juga tidka diperbolehkannya untuk tidak membatasinya bahwa khabarul ahad bisa menjadi ilmu. (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/359-360) oleh Ibnu Qayyim)
Pendapat Kedua
Menurut pendapat kedua, yaitu bahwa khabarul ahad bisa menjadi ilmu dengan disertai dengan syarat-syarat. Dan inilah yang benar.
Syarat-syaratnya itu adalah khabarul ahad itu mempunyai qara’in. Qara’in adalah jamak dari qarinah, yaitu hal yang mengindikasikan apa yang diharapkan dan benar, terutama ditekankan pada hal yang dimaksud.(At Ta’rifat hal.183 karya Al Jurjani)
Qarinah ini bisa menjadi sesuatu yang berhubungan dengan khabarnya, dan bisa juga pada rawinya, atau bisa juga pada keduanya. Dimasukkan juga dalam hal ini yaitu khabar mustafid, yang asalnya diriwayatkan oleh satu rawi yang kemudian diteruskan oleh banyak rawi-rawi lainnya, sehingga menjadi masyhur. Juga bisa dimasukkan dalam hal qarinah ini yaitu khabar yang diterima oleh ummat, atau yang diterima oleh ulama Ahlul Hadits, seperti apa-apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari atau Muslim dan yang selainnya. Dan bisa juga dimasukkan dalam qarinah ini, yaitu khabar dengan isnad yang mereka itu (perawi) adalah imamnya dalam hal ketelitian dan ingatan, contoh: Malik meriwayarkan dari Nafi’, Nafi’ meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar. Maka khabar seperti ini dan yang lainnya, bisa dijadikan sebagai ilmu menurut pendapat dari jumhur ulama Ahlul Hadits, Ahlul Ushul, Ahlul Kalam dan sebagian Fuqaha dari ummat ini, yang tidak ada ketidaksetujuan di antara mereka tentang hal ini. (Raf’ul Malam ‘Anil A’imatil A’lam (hal.63) karya Ibnu Taimiyah, Fathul Mughits (I/51) karya Al Hafidh As Sakhawi)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:”Untuk jenis kedua dari khabar, yaitu yang telah diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah dan yang lainnya, walaupun dalam matan dan maknanya bukanlah mutawwatir (maksudnya adalah khabrul ahad), tetapi bila ummat telah menerimanya, beramal dengannya atau menyetujuinya, maka hal ini adalah merupakan ilmul yaqini seperti yang telah dipahami oleh ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dari kalangan salaf maupun khalaf. Untuk kalangan salaf, maka tidak ada perbedaan di antara mereka dalam hal ini, begitu pun pula di kalangan khalaf, dan hal ini adalah merupakan madzhab dari para ulama yang berasal dari pengikut empat madzhab. Permasalahan ini bisa ditemukan dalam kitab-kitab Malikiyyah, Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyyah”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Qayyim dalam Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/372-373), dan Majmu’ul Fatawa (VIII/41)
Ibnu Qayyim meriwayatkan dari Ibnu Khawazimdad (seorang ulama Malikiyyah), dia menjelaskan bahwa khabarul ahad tidaklah diriwayatkan kecuali oleh satu atau dua orang, kemudian dia berkata:”Dan melalui jenis kahabar ini, al ilmud dururi bisa dicapai, dan Malik telah secara tertulis menyatakan hal ini”. (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/362-363) dan At Tamhid Lima Fil Muwatha’ Minal Ma’ni Wal Asanid (I/ karya Ibnu Abdil Bar, Al Ihkam (I/132) karya Ibnu Hazm).
Al Imam Asy Syaukani berkata dalam Irsyadul Fuhul hal.48:”Ibnu Khawazimdad telah meriwayatkannya dari Malik bin Anas, dan membahasnya secara panjang lebar.”
Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani (wafat 852 H) berkata:”Al Qadhi Abu Nashr ‘Abdul Wahhab Al Maliki menjelaskan dengan pasti bahwa riwayat itu shahih, yang berarti hal itu diterima. (An Nukat I/373)
Al Imam Asy Syafi’i (wafat 204 H) berkata:”jika rawi yang tsiqah meriwayatkan dari rawi yang tsiqah lainnya, maka hal itu dikembalikan dikembalikan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan hal ini adalah tsabit berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Al Umm VII/177)
Ibnu Qayyim mengutip perkataan Imam Asy Syafi’i:”Dan apa yang diriwayatkan oleh satu rawi ke satu rawi yang lainnya, kemudian kita tahu hal itu shahih bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam, yaitu berdasarkan pada kebenaran ucapan rawi tersebut pada kita” (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/365-366)
Al Qadhi Abu Ya’ala (wafat 345 H) meriwayatkan dari Abu Bakr Al Marudhi yang berkata:”Aku berkata pada Abu ‘Abdullah (yaitu Imam Ahmad) bahwa ada orang yang berkata bahwa khabarul ahad hanya diwajibkan pada amalan saja tapi tidak diwajibkan pada ilmu. Maka ia menolaknya dan berkata:’Aku tidak tahu tentang hal (perkataan) ini'”. Abu Ya’la berkata:”Apa yang telah nyata dari hal ini bahwa dia (Imam Ahmad) menyatakan bahwa khabarul ahad sama-sama diwajibkan pada ilmu dan amal”. (At Taqyid Wal ‘Iddah hal.2
Imam Ahmad berkata mengenai hadits tentang Ar Ru’yah (melihat Allah di hari akhir):”Kami beriman pada hal itu dan yaqin bahwa hal itu adalah benar”, Abu Ya’la berkata:”Demikian apa yang beliau nyatakan dengan jelas bahwa hal itu (hadits ahad) bisa dijadikan ilmu. Dan apa yang nyata dari kalimat itu adalah perkataan dari sekelompok shahabat kita yang menyatakan bahwa khabarul wahid dalam hal syari’ah diwajibkan pula pada ilmu, dan hal ini, menurutku, adalah benar dari perkataan Imam Ahmad dan hal ini diwajibkan pada ilmu berdasarkan istid-lal, bukan berdasarkan pada dururah”.
Al Majd berkata:”Dan ada riwayat dari Ahmad yang menunjukkan bahwa hal ini (khabarul ahad) bisa menjadi qath’iy jika shahih. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh shahabat kita”. Syihab berkata:”Dan hal ini telah didukung oleh Al Qadhi Abu Ya’la dalam Al Kifayah”.
Abu Muhammad Ibnu Hazm berkata:”Abu Sulaiman Daud Adh Dhahiri, Al Hasan bin ‘Ali Al Karabisi dan Al Harits bin ‘Asad Al Muhasibi dan yang lainnya telah menyatakan bahwa khabarul wahid yang diriwayatkan dari rawi yang tsiqah, maka hal itu dikembalikan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengharuskannya pada amalan dan ilmu. Dan ini adalah ucapan kami juga”. Abu Muhammad mendukung pendapat ini, membahasnya dengan panjang lebar dab membantah syubhat-syubhat yang berlawanan dengan apa yang dia pegang ini.
Abu ‘Amr Ibnush Shalah (wafat 643 H) menjelaskan dalam Muqaddimah-nya:”Bahwa hadits yang Al Bukhari dan Muslim bersetuju diatasnya, adalah qath’iy tsubut (pasti shahihnya) dan mereupakan al ilmul yaqini an nadhari, hal ini adalah sebagai bantahan terhadap perkataan orang-orang yang menolak hadits ahad, yang mencari-cari pembuktian bahwa hal ini hanyalah dhan saja, dan kalaupun ummat menerima hal ini maka hal ini disebabkan karena mereka beramal berdasarkan pada dhan saja padahal dhan bisa saja salah. Aku dulunya berpegang pada pendapat ini dan berfikir inilah yang benar. Tapi kemudian ini menjadi nyata bagiku bahwa pendapat yang sebelumnya (tentang hadits yang disetujui oleh Al Bukhari dan Muslim) adalah yang benar. Sebab dhan dari seseorang yang terlindungi dari kesalahan, tidak bisa disebut salah. Dan ijma’nya ummat terlindung dari kesalahan. Inilah yang benar dan bermanfaat. Dan pelajaran yang dapat diambil dari hal ini adalah khabar-khabar yang diriwayatkan sendiri oleh Al Bukhari, sendiri oleh Muslim, maka jatuhnya hal itu pada pernyataan qath’iy. Sebab ummt telah menerima kedua kitabnya, kecuali untuk beberap perkataan, yang para ulama telah berbicara (mengkritik) tentangnya oleh para Huffadh, seperti Ad Daraquthni dan yang lain-lain, yang sudah ma’ruf bagi orang-orang yang bergelut dalam bidang (hadits) ini”.
Ibnu Taimiyah berkata (ketika menjelaskan pokok khabarul ahad yang bisa menjadi ilmu):”Maka Abu ‘Amr Ibnush Shalah telah menjelaskan pada perkataannya yang pertama (bahwa hadits yang disetujui oleh Al Bukhari dan Muslim bisa dijadikan ilmu) dan dia menyepakatinya dan menyatakan bahwa hal itu adalah benar. Namun, dia tidak mengetahui bahwa sebenarnya banyak orang yang berpegang dengan pendapat ini, dalam artian hal ini dikuatkan oleh mereka meskipun harus didasarkan pada keshahihan khabar yang diminta”.
Oleh karena itu As Sakhawi (wafat 902 H) berkata dalam FatHul Mughits (I/51):”Setelah dia (Ibnush Shalah) mendahului perkataan tentang khabar ahad maka perkataannya itu telah disetujui oleh jumHur, dari kalangan Muhadditsin, Ushuliyyin dan sebagian besar salaf. Kemudian hal yang sama telah dinyatakan juga oleh yang lainnya berdasarkan khabar-khabar yang terkandung dalam dua kitab shahih”.
Al ‘Iraqi (wafat 806 H) mengindikasikan bahwa sebenarnya Ibnush Shalah telah didahului mengenai khabarul ahad ini oleh Al Hafidh Abu Fadl Muhammad bin Thahir Al Maqdisi dan Abu Nashr ‘Abdurrahman bin ‘AbdulKhaliq bin Yusuf, yang keduanya sama-sama berkata:”Hadits hada adalah qath’iy”.
Abu ‘Amr Ibnush Shalah juga telah disepakati oleh sekelompok ulama setelah jamannya, seperti As Sakhawi, Syaikhul Islam Al Balqini dalam Al Mahasinul Istilah Wa Tadamin Kitab Ibnush Shalah (hal.101), Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam An Nukat ‘Ala Ibnish Shalah (I/371), Al Hafidh Ibnu Katsir dalam Al Ba’itsul Hatsits Syarh Ikhtishar Ulumil Hadits (hal.37) dan Al Hafidh Jalaluddin As Suyuthi (wafat 911 H) dalam Tadribur Rawi (I/134).
Syaikh Ahmad Syakir berkata:”Dan yang terbukti benar berdasarkan pada dasar yang shahih, yaitu apa yang dipegang oleh Ibnu Hazm dan yang lainnya yang sependapat dengannya, bahwa hadits yang shahih bisa menjadi ilmul qath’iy, baik yang ada pada dua kitab shahih atau lainnya. Ilmul Yaqini ini adalah Ilmun Nadhari Burhani. Ilmu ini tidaklah diketahui, kecuali oleh para ulama yang menyelidiki atau meneliti dengan sangat mendalam tentang ilmu hadits, yang mempunyai pengetahun yang banyak tentang kondisi dari para rawai dan kelemahan-kelemahannya”. (Al Ba’itsul Hatsits hal.39)
Bukti akan benarnya pendapat yang kedua ini sangatlah banyak, Alhamdulillah, hanya saja bukan disini tempatnya untuk menjelaskan semuanya. Diantara bukti atau dalil akan benarnya hal ini adalah:
1. Pembedaan antara khabar mutawatir dengan khabar ahad dengantujuan supaya khabarul ahad tidak bisa dijadikan ilmu, adalah sesuatu hal yang baru, yang tidak pernah dicontohkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah, dan tidak diketahui dari kalangan shahabat atau tabi’in. Yang benar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang telah disetujui oleh ummat berdasarkan pada apa yang telah beliau sampaikan, tanpa ada atau perlunya hal itu telah diberitakan oleh jumlah mutawatir (Ar Risalah (hal.436) karya Imam Asy Syafi’i)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mempercayai apa yang telah diberitakan oleh para shahabat pada beliau, begitu pun pula sebaliknya, para shahabat pub saling percaya satu sama lainnya berdasarkan pada apa yang mereka riwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada di kalangan mereka yang berkata:”Khabarmu itu ahad, jadi tidak bisa dijadikan ilmu sama sekali, sampai khabarmu itu menjadi mutawatir”. Memang di kalangan para shahabat pun kadang-kadang tidak langsung menerima khabar yang disampaikan dalam hal-hal tertentu sampai didukung oleh khabar dari shahabat lainnya, namun hal ini bukanlah merupaka dalil untuk menolak hadits ahad. (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/361) karya Ibnu Qayyim)
Begitu pun juga Tabi’in, baik secara berkelompok maupun perorangan, yang bertemu dengan shahabat, mereka menimba ilmu dari shahabat dan mempercayainya, tanpa berfikir apakah itu mutawatir atau bukan. Begitu juga pada setiap Imam atau ulama yang duduk dan mengajari murid-muridnya, para muridnya percaya pada apa yang dikatakannya, sedangkan mereka (para Imam atau ulama bersendirian). Maka ucapan-ucapan yang menyatakan bahwa khabarul ahad tidak dapat dijadikan sebagai ilmu, maka hal itu akan menghancurkan baik masalah agama maupun dunia, dan hal ini akan mengoyak-ngoyak sampai hancur ijma’ para shahabat, tabi’in dan yang datang setelah mereka dari kalangan Ahlul Ilmi. (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/362) dan Al Ihkam (I/150-151)
2. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengirim shahabat secara orang per orang kepada raja-raja dan penguasa untuk menyampaikan darinya firman Allah. Jika khabar dari para shahabat itu tidak bisa dijadikan sebagai ilmu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengirim mereka, dan hal ini adalah kesia-siaan. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlepas dari hal semacam itu.
3. Bahwa kaum muslimin pada waktu itu shalat fajr di Masjid Quba yang kemudian diberitahu oleh seseorang bahwa qiblahnya telah dirubah menjadi menghadap Ka’bah, dan mereka menerima pemberitahuan ini. Ini adalah merupakan bukti nyata walaupun pada sebelumnya mereka berada pada suatu yang qath’iy, namun mereka merubah qiblahnya kepada qiblahnya yang baru dalam rangka mentaati perintah Allah dan rasul-Nya (yang juga merupakan suatu yang qath’iy), walaupun hal ini diberitahukan oleh satu orang. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengecam hal itu, malah mereka dipuji oleh beliau karena perbuatannya itu. (Ar Risalah (hal.406-408), Al Muswaddah (hal.247). Riwayat tentang qiblah ini diriwayatkan oleh Al Bukhari VIII/174)
Pendapat Ketiga
Menurut pendapat ketiga ini, yaitu hadits ahad tidak bisa dijadikan ilmu sama sekali, walaupun disertai dengan qarinah ataupun tidak.
Ini adalah pendapatnya sebagian dari kalangan Ahlul Kalam dan Ushuliyyin, seperti Abu Ma’alai Al Juwayni (wafat 478 H) dalam Al Burhan Fi Ushulil Fiqh (I/599), Al Ghazali (wafat 505 H) dalam Al Mustasfa (I/145), Abu Manshur Al Baghdadi (wafat 462 H) dalam Al Farqu Bainal Firaq (hal.325-326) dan Ushuluddin (hal.12), Al Baqilani (wafat 403 H) dalam At Tamhid Fi Radd ‘Alal Mulhidah Mu’athilah War Rafidhah Wal Khawarij Wal Mu’tazilah (hal.164). Dan semua itu dinukil oleh Ibnul Hajib (wafat 555 H) dalam At Taqrir Wat Tahbir (II/268) dengan menyatakan bahwa hal itu adalah ijma’ dari jumhur ulama Ahlul Fiqh dan Ahlul Hadits. Dan pernyataannya ini perlu diuji kembali kebenarannya, berdasar pada apa yang telah dibahas sebelumnya (pendapat kedua) dan berdasarkan pada pembahasan yang akan datang, insya Allah.
Dan hal ini juga diriwayatkan atau dinukilkan satu dari dua perkataan yang dinisbahkan pada Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H) yang diriwayatkan oleh Al ‘Atsram dalam Ma’ani’ul Atsar, dimana beliau (Imam Ahmad) berkata:”Ketika datang khabar (yaitu khabar ahad) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan isnad yag shahih, yang didalamnya terkandung ahkam atau sesuatu yang diwajibkan, maka aku beramal padanya dan menjadikannya sebagai bagian dari dienku terhadap Allah. Tapi, aku tidak menyatakan kesaksian bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan yang demikian” (Al Muswaddah (hal.241), Al ‘Iddah (III/898) karya Abu Ya’la. Abu Ya’la berkata:”Ini jelas bahwa beliau menyatakan ini (khabar ahad) bukan qath’iy”).
Juga dinisbahkan padanya bahwa beliau berkata:”Dan kami tidak memberikan kesaksian tentang seseorang dari Ahlul Qiblah, yang dia berada di neraka dikarenakan dosa yang dia lakukan, maupun dosa besar yang menjadikan dia durhaka, bila didasarkan pada hadits seperti itu (hadits ahad), walaupun kami menyetujuinya dan mempunyai ilmu tentang hal itu, tapi kami tidak memberikan kesaksian. Begitu pun pula kami tidak memberikan kesaksian bahwa seseorang itu berada di surga berdasarkan pada amal shalihnya, ataupun karena kebaikan yang telah dia lakukan, kecuali berdasarkan pada khabar seperti itu (khabar ahad). Maka kami tetap menyatakan hal ini seperti yang diriwayatkan tapi kami tidak menetapkannya” (Al ‘Iddah (III/899), Abu Ya’la berkata:”Dan pengertian yang ada padaku, wallahu a’lam, bahwa beliau tidak mengatakan bahwa khabarul ahad itu adalah qath’iy).
Maka jawaban (bantahan) terhadap riwayat Al ‘Atsram itu ada beberapa hal:
1. Al ‘Atsram bersendirian dalam meriwayatkan khabr ini. Ini tidak ditemukan dalam kitabnya Al Masa’il, ataupun As Sunnah. Malah ini dinukilkan oleh Abu Ya’la yang menyatakan bahwa khabar ini dia temukan di kitab Ma’ani’ul Atsar (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/370).
2. Al ‘Atsram tidak menjelaskan bahwa dia mendengar secara langsung khabar ini dari Imam Ahmad, bisa saja yang dia dengar ini berasal dari seseorang yang telah salah dan keliru dalam meriwayatkannya, sebab tidak ada dari murid-muridnya Imam Ahmad dan shahabatnya yang meriwayatkan hal ini darinya. (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/370-371)
3. Apa yang benar yang telah diriwayatkan dari Imam Ahmad adalah kebalikannya, seperti beliau menyatakan kesaksian akan hal hal Al ‘Asyarah Al Mubasyarah (sepuluh surga yang dijanjikan), padahal riwayat tentang hal itu adalah khabarul ahad (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/371). Persaksian Imam Ahmad tentang Al ‘Asyarah Al Mubasyarah dapat ditemukan pada kitab Thabaqatul Hanabilah (I/289) oleh Ibnu Abi Ya’la.
4. Boleh jadi apa yang dinyatakan oleh Imam Ahmad itu dalam rangka kehatian-hatian. Hal ini sering beliau lakukan dalam menyatakan sesuatu apakah itu dilarang atau diwajibkan, dan beliau selalu berhati-hati dan menahan diri dari menggunakan istilah haram atau wajib. Maka beliau kan berkata “Aku membencinya” atau “aku menganjurkannya” (Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/371).
Ibnu Taimiyah mengomentari riwayat yang kedua yang dinisbahkan pada Imam Ahmad, beliau berkata:”Kata ‘menetapkan’ adalah sudah ma’ruf. Pengertiannya adalah kita tidak bersaksi dengan berdasarkan pada keterangan orang (tanpa menyelidikinya). Kemudian, beliau (Imam Ahmad) juga berkata ‘kami telah mempunyai seperti yang diriwayatkan ini’, maka perkataannya ini adalah merupakan bukti bahwa hal itu bisa menjadi ilmu. Dan dari prinsip ini juga beliau bersaksi akan sepuluh surga yang dijanjikan itu berdasarkan pada khabar tentang hal itu, padahal riwayatnya adalah ahad. Kemudian beliau juga berkata ‘aku menyatakan kesaksian’ dan ‘aku telah mempunyai ilmu’, pengertiannya adalah satu dan sama saja, dan ini adalah bukti bahwa beliau mengatakan kesaksian berdasarkan pada khabar ahad” (Al Muswaddah Fi Ushulil Fiqh hal.242)
Imamul Haramain Abu Ma’ali Al Juwayni menjelaskan menjelaskan dalam Al Irsyad (hal.416-417), yang penjelasannya adalah kebalikan dari apa yang dia jelaskan di kitabnya yang lain, dia berkata:”Dan setiap khabar yang tidak mencapai tingkatan mutawatir, maka hal itu tidka bisa dijadikan sebagai ilmu, kecuali kalau disertai dengan qarinah yang menyatakan kuatnya hal itu, sebagai contoh, hal itu didukung oleh dalil ‘aqli atau hal ini didukung oleh peristiw ajaib (mu’jizat) yang menguatkan hal itu, dan demikian pula jika ummat menerima riwayat itu dan menjadikannya ijma’, maka kami tahu bahwa hal itu adalah benar adanya”. Maka perkataannya ini adalah kebalikan dari apa yang telah dijelaskan di kitab-kitabnya yang lain yang menjelaskan bahwa khabarul ahad tidak bisa dipakai sebagai ilmu sama sekali.
Dan Abu Manshur Al Baghdadi menyatakan bahwa khabarul mustafid (yaitu riwayat yang minimal diriwayatkan oleh tiga rawi pada sanadnya) bisa dijadikan sebagai ilmu dan tidak ada keraguan bahwa khabar mustafid bukanlah khabar mutawatir, kemudian dia membagi alasan penerimaannya itu menjadi empat hal, diantaranya adalah “khabar wahid itu diterima oleh ummat”, kemudian dia berkata lagi “dan setiap amalan dan ilmu bisa memakai khabr mustafid” (Ushuluddin hal.12-13)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan setelah menjelaskan posisi dari jumhur ulama salaf dan khalaf tentang bisa dipakainya hadits ahad sebagai ilmu, dan menjelaskan yang pertama kali mengatakan hal itu adalah Ibnush Shalah, kemudian beliau berkata:”Dan siapa saja yang keberatan akan hal ini, dari kalangan syaikh yang mempunyai ilmu dien, tapi tidak mempunyai ilmu yang cukup tentang hadits, kemudian mereka berfikir bahwa hal ini hanyalah perkataan Ibnush Shalah saja, dan tidak menganggapnya dari jumhur ulama. Maka mereka itu tidak mempunyai bukti akan perkataanya itu. Sebenarnya perkataan mereka itu hanyalah taqlid pada perkataannya Ibnul Hajib. Yang jika diurut ke atas lagi maka Ibnu Hajib ini mengikuti perkataannya Syaifuddin Al Amidi (wafat 631 H) dan juga Ibnul Khaththab Abu ‘Abdullah Al Fakhrurrazi (wafat 510 H). Dan bila lebih ke atas lagi, mereka itu mengikuti pendapatnya Al Ghazzali (wafat 505 H), AL Juwayni (wafat 478 H) dan Al Baqilani (wafat 403 H)”.(Dinukil oleh Ibnu Qayyim dalam Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/373-374)
Dan diantara para ulama yang keberatan dengan perkataanya Ibnush Shalah dan menyangkalnya adalah Al ‘Izz bin Abdussalam (wafat 660 H) dalam Tadribur Rawi (I/132), Ibnu Burhan (wafat 518 H) dalam Muqaddimah Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi (I/20). Ibnu Burhan adalah Abul Fath Ahmad bin ‘Ali bin Burhan, dikenal dengan sebutan Ibnul Jami, seorang faqih dari Baghdad. Dia belajar fiqh pada Ibnu ‘Aqil dan ahli dalam madzhab Ahmad, kemudian dia mengkritik Ibnu ‘Aqil pada beberapa masalah dan akhirnya ia beralih pada mdzhab Syafi’I, dan berhubungan erat dengan Al Ghazzali dan Asy Syasyi. Dia lahir pada tahun 479 H dan meninggal 518 H. (Al Bidayah wan Nihayah (XII/194) karya Ibnu Katsir, Al A’lam (I/167) karya Az Zarkali).
Dan satu lagi yang menentang Ibnush Shalah adalah An Nawawi (wafat 676 H) yang berkata setelah menukil ucapannya Ibnush Shalah:”Dan kebanyakan dari ulama muhaqiqqin yang utama telah berbeda pendapat dengan dia (Ibnush Shalah)”.(At Taqrib (I/132) karya An Nawawi, dan Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi (I/20)
Al Balqini berkata:”Apa yang telah dikatakan oleh An Nawawi dan Ibnu Abdissalam serta yang lainnya yang mengikuti mereka, maka perkataanya bukanlah suatu masalah”. (Mahasinul Istilah hal. 101). Kemudian ia menukil ucapan Ibnu Taimiyah yang menjelaskan posisi dari kalangan Salaf dan Khalaf mengenai hal ini, dan dari mereka adalah ahlul hadits imamnya dari kalangan pengikut empat mdzhab dan mayoritas ahlul kalam. (Hal ini seperti yang ternukil di Mukhtashar Ash Shawa’iqul Mursalah (II/373-374), An Nukat (I/376-377), dan Al Ba’itsul Hatsits hal.3.
Sumber : Manhajul Istid-lal ‘Ala Masa’ilil I’tiqad ‘Inda Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (1/115-129).
URL :http://www.troid.org/artikel2/hadeeth/additionalinfo/aahaadnarration.htm
0 comments:
Post a Comment