222
Lagi : Tauhid Mulkiyah/Hakimiyyah bukan dari Islam
Penggunaan kata Hakimiyyah termasuk pembangun dakwah politik
(Fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani)
——————————————————
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : “Wahai Syaikh kami -semoga
Allah memberkahimu- para ulama salaf -semoga rahmat Allah atas mereka-
menyebutkan bahwa tauhid ada tiga macam yaitu ; Uluhiyah, Rububiyah dan Asma
wa Sifat. Maka, apakah dibenarkan jika kita mengucapkan bahwa di sana
terdapat tauhid yang keempat yaitu ‘Tauhid Hakimiyah’ atau ‘Tauhidul Hukum
?’
Beliau menjawab : “Al-Hakimiyah adalah bagian dari ‘Tauhid Uluhiyah”. Mereka yang mendengung-dengungkan kalimat yang ‘muhdats’ tadi di zaman ini bukanlah
untuk mengajari kaum muslimin tentang tauhid yang dibawa oleh para nabi dan para rasul seluruhnya, melainkan hanyalah sebagai senjata politik. Karena itu aku akan tetap menyatakan untuk kalian apa yang telah aku ucapkan tadi, walaupun sebenarnya sudah berulang kali ditanyakan dan berulang kali aku menjawabnya. Atau kalau kau suka kita lewatkan saja apa yang sedang kita bahas.
Dalam satu kesempatan seperti ini aku telah menyampaikan pendukung apa yang telah aku ucapkan tadi bahwa penggunaan kata ‘hakimiyah’ adalah pelengkap dakwah politik yang merupakan ciri khas beberapa ‘hizb-hizb’ yang ada pada hari ini. Pada kesempatan ini aku sampaikan satu kisah yang terjadi antara aku dengan salah seorang ‘khatib’ di salah satu masjid di Damaskus. Pada hari Jum’at dia berkhutbah yang seluruhnya berkisar tentang ‘hakimiyah’ bagi Allah Azza wa Jalla. Kemudian dia keliru dalam salah satu masalah fiqh.
Ketika selesai shalat Jum’at aku maju kepadanya, aku ucapkan salam kepadanya dan aku katakan kepadanya : “Wahai saudaraku engkau berbuat seperti ini dan hal itu adalah menyelisihi sunnah”. Dia menjawab : “Aku
adalah orang yang bermadzhab Hanafi yang berpedapat dengan apa yang aku kerjakan itu”. Aku berkata : “Subhanallah’, engkau berkhutbah bahwa ‘hakimiyah’ milik Allah Azza wa Jalla dan kalian menggunakan kata itu hanya sekedar untuk memerangi orang-orang yang kalian anggap sebagai hakim-hakim yang telah kafir karena tidak berhukum dengan syari’at Islam.
Sedangkan kalian lupa pada diri kalian sendiri bahwa ‘hakimiyah’ itupun mencakup setiap muslim. Maka mengapa sekarang ketika kusebutkan kepadamu bahwa Rasul berbuat seperti ini, engkau mengatakan bahwa madzhabku demikian. Berarti engkau menyelisihi apa yang kau dakwahkan. Maka, kalau saja tidak karena mereka mengambil kata tersebut sebagai pengantar dakwah politik, tentu kami akan katakan : “Inilah dagangan kami kembali kepada kami”.[1]
Adapun dakwah yang manusia kami seru kepadanya di sana terdapat ‘hakimiyah’ dan selain ‘hakimiyah’ yaitu ‘tauhid uluhiyah’ sebagai tauhid ibadah yang termasuk di dalamnya apa yang mereka dengung-dengungkan. Atas apa yang kalian sebut-sebut ketika kalian mendengung-dengungkan ‘tauhid hakimiyah’, maka kami menyebarkan hadits Hudzaifah Ibnul Yaman bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan kepada para sahabatnya ayat-ayat mulia.
“Artinya : Mereka menjadikan pendeta-pendeta mereka dan ahli-ahli ibadah
mereka sebagai rabb-rabb selain Allah” [At-Taubah : 31]
Adi bin Hatim Ath-Tha’i mengatakan : “Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak pernah menjadikan mereka sebagai rabb-rabb selain Allah”. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bukankah jika mereka mengharamkan untuk kalian apa yang halal, maka kalian mengharamkannya ; dan jika mereka menghalalkan untuk kalian perkara yang haram maka kalian menghalalkannya ?” Dia berkata : “Kalau demikian memang terjadi”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Itulah berarti kalian menjadikan mereka sebagai rabb-rabb selain Allah”.
Kami juga yang menyebarkan hadits ini sampai kepada orang-orang lain hingga kemudian mereka mengembangkan dari ‘tauhid Uluhiyah’ atau tauhid ibadah dengan penamaan yang bid’ah dengan tujuan politik. Maka saya tidak berpendapat adanya istilah seperti ini. Kalau saja mereka mengucapkannya hanya dengan pengakuan tanpa mengamalkan konsekuensinya sebagaimana yang aku sebutkan tadi bahwa dia sudah termasuk dalam tauhid ibadah, tetapi kamu lihat mereka beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang mereka sepakati.
Dan jika dikatakan sebagaimana yang kita sebut dalam kisah tadi bahwa amal ini menyelisihi sunnah atau menyelisihi ucapan Rasul, dia berkata : “Ini Madzhabku”. ‘Alhakimiyah bagi Allah bukan berarti hanya menentang orang-orang kafir dan musyrik saja, akan tetapi juga menentang orang-orang yang melanggar hukum seperti orang-orang yang beribadah kepada Allah tanpa sesuai dengan apa yang datang dari Allah dalam kitab-Nya dan dari Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sunnahnya.
Inilah yang ada dalam benakku tentang jawaban terhadap pertanyaan seperti
ini.
———-
[1] Ini adalah potongan terjemah ayat yang mengisahkan Nabi Yusuf yang maksud beliau adalah bahwa ucapan orang tadi tentang ‘hakimiyah’ kalau saja benar yang dimaksudkan adalah mengajak berhukum dengan hukum Allah tentu kata itu adalah dalil buat Syaikh Al-Albani dalam membantah ‘muta’ashib’ (orang yang ta’ashub) dengan madzhab Hanafi tadi. Yakni berhukumlah dengan hukum kitab wa sunnah jangan berhukum dengan hukum madzhab tertentu.
Barangsiapa Menganggap Bahwa Tauhid Hakimiyyah merupakan Tauhid Keempat, maka ia Mubtadi’ (Ahli Bid’ah)
[Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin]
——————————————————
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Anggota Haiah Kibaril Ulama dan dosen di Fakultas Syari’ah dan Ushuluddien di kota Qashim, Saudi Arabia, ketika ditanya tentang permasalahan ini (Tauhid Hakimiyah), beliau menjawab : “Barangsiapa menganggap bahwa ada bagian keempat dalam (pembagian) tauhid yang disebut ‘tauhid hakimiyah’, maka orang tersebut dianggap ‘mubtadi’. Ini adalah pembagian yang diada-adakan dan timbul dari seorang ‘jahil’ yang
tidak paham tentang perkara aqidah dan agama sedikitpun.
Yang demikian itu karena ‘al-hakimiyah’ termasuk dalam tauhid ‘rububiyah’ dari sisi bahwasanya Allah menghukum dengan apa-apa yang Dia kehendaki. Ia juga termasuk dalam tauhid ‘uluhiyah’ (dari sisi), karena setiap hamba wajib beribadah kepada Allah dengan hukum Allah. Dengan demikian ‘hakimiyah’ tidak keluar dari tiga jenis tauhid, yaitu tauhid ‘rububiyyah’ tauhid ‘uluhiyah’ dan tauhid ‘asma wa sifat’.
Ketika beliau ditanya tentang cara membantah mereka, beliau menjawab : “Saya
membantah mereka dengan bertanya kepada mereka : Apa makna ‘al-hakimiyah ?’
Tidak lain mereka akan mengatakan : ‘inil hukmu illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah). Padahal ini adalah tauhid ‘rububiyah’ Allah. Dia adalah ‘Ar-Rabb’ (Yang Memelihara), ‘Al-Khaliq’ (Yang Menciptakan), ‘Al-Malik’ (Yang Memiliki), ‘Al-Mudabbir’ (Yang Mengatur segala urusan).
Adapun tentang maksud dan niat ucapan mereka ini, sesungguhnya kita tidak mengetahuinya, maka ita tidak bisa memastikannya.
Tidak diperbolehkan Meletakkan Tauhid Hakimiyyah sebagai bagian Khusus dalam Pembagian Tauhid
[Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh]
——————————————————
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh, anggota Haiah Kibarul Ulama di Saudi Arabia dan wakil Mufti’ Am urusan fatwa, berkata tentang permasalahan ini.
Ketika seorang muslim memperhatikan kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia akan mendapati bahwa tauhid ada tiga macam.
1. Tauhid rububiyah yang juga diyakini oleh kaum musyrikin seluruhnya dan tidak ada seorangpun yang menentangnya, yaitu keyakinan bahwa Allah adalah Rabb dan Khaliq (Pencipta) segala sesuatu. Semua jiwa diciptakan di atas tauhid ini. Bahkan Fir’aun yang berkata : ‘Ana Rabbukumul A’la (Aku adalah Rabb kalian yang paling tinggi)’ (sesungguhnya juga meyakini akan hal ini
-pen).
Allah berfirman tentang Fir’aun.
“Artinya : Mereka (Fir’aun dan kaummnya) mendustakan (risalah yang dibawa
oleh Nabi Musa) karena kedhaliman (syirik) dan kesombongannya. Sedangkan
jiwa-jiwa mereka meyakininya” [An-Naml : 14]
2. Apa yang ada dalam kitab Allah berupa penjelasan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya dalam firman-Nya Ta’ala.
“Artinya : Allah memiliki nama-nama yang paling baik, maka berdo’alah kalian
kepada Allah dengannya” [Al-A’raaf : 180]
Begitu pula sifat-sifat Allah di dalam kitab-Nya. Allah mensifati diri-Nya dengan beberapa sifat dan menamai diri-Nya dengan beberapa nama. Dan termasuk konsekwensi iman adalah ‘engkau mengimani nama-nama Allah dan
sifat-sifat-Nya’.
3. Tauhid yang didakwahkan oleh para rasul kepada umat-umat mereka adalah mengikhlaskan agama hanya untuk Allah dan mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah.
“Artinya : Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya : Tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi selain Aku. Maka hendaklah kalian beribadah kepada-Ku” [Al-Anbiya : 25]
Apabila engkau perhatikan Al-Qur’an, maka engkau akan mendapatkan tauhid
dalam pengertian ini.
Allah berfirman.
“Artinya : Dan sungguh jika engkau bertanya kepada mereka : ‘Siapakah yang menciptakan langit-langit dan bumi ?’ Tentu mereka akan menjawab : ‘Allah’ “[Luqman : 25]
Dan firman-Nya.
“Artinya : Katakanlah ; siapakah yang memberi rezki kepadamu dan langit dan
bumi atau siapakah yang mampu (menciptakan) pendengaran dan penglihatan dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang
mati dari yang hidup serta siapakah yang mengatur segala urusan. Maka mereka
akan mengatakan : ‘Allah ?’ [Yunus : 31]
Lalu Allah berfirman.
“Artinya : Kenapa kalian tidak bertaqwa” [Yunus : 31]
Yakni kenapa kalian tidak beribadah kepadaNya dan mengikhlaskan agama hanya
bagi-Nya.
Adapaun tentang ‘al-hakimiyah’, apabila yang dimaksud adalah berhukum dengan
syariat Allah, maka termasuk konsekwensi tauhid seorang hamba kepada Allah
dan pemurnian ibadah hanya kepada Allah adalah berhukum dengan syari’at-Nya.
Barang siapa meyakini bahwa Allah itu Satu, Esa, Tunggal, Tempat bergantung, tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi selain-Nya, maka wajib atasnya berhukum dengan syariat-Nya dan menerima agama-Nya serta tidak menolak sedikitpun dari perkara itu. Dengan demikian, termasuk beriman kepada Allah adalah berhukum dengan syari’at-Nya, melaksanakan
perintah-perintah-Nya, meninggalkan dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta
berhukum dengan syari’at Allah dalam setiap keadaan. Jika demikian halnya
maksud ‘al-hakimiyah’ berarti termasuk dalam tauhid uluhiyah dan tidak boleh
menjadikan ‘al-hakimiyah’ sebagai bagian khusus yang dipisahkan karena ia
termasuk bagian dalam tauhid ibadah.
Masalah Al Hakimiyah Merupakan Perkara yang Baru (Diada-adakan, sebelumnya tidak dikenal)
[Fatwa Syaikh Dr Nashir bin Abdul Karim Al’Aql]
——————————————————
Syaikh Dr Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, guru dalam bidang aqidah dan madzhab-madzhab Al-Mua’asharah Fakultas Ushuluddin di Riyadh, cabang Universitas Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyah, mengatakan bahwa
pembicaraan tentang masalah Al-Hakimiyah termasuk perkara-perkara baru yang
tidak pernah disebut di kalangan Salaf dengan istilah ini. Apabila kita sodorkan permasalahan ini dengan kaidah-kaidah Salaf dalam hal nama-nama dan sifat-sifat Allah serta perbuatanNya, maka kita ketahui bahwa Al-hakimiyah dengan lafadh ini tidak ada asalnya secara syari’at. Tinggal sebagai lafadh
global yang mengandung pengertian banyak.
Hal itu karena nama-nama Allah dan
sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya adalah perkara ‘taufiqiyah’ (yang hanya ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya), tidak boleh menamai Allah Ta’ala atau mensifati-Nya kecuali dengan apa-apa yang Allah mensifati diri-Nya dengannya atau yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mensifati-Nya dengannya. begitu juga ucapan bahwasanya ‘al-hakimiyah’ merupakan bagian tauhid keempat tidaklah benar karena masalah hakimiyah mempunyai dua makna.
Pertama.
Kembali pada makna tasyri’ dan perkara syar’i. Hal ini masuk ke dalam tauhid ilahiyah (tauhid ibadah wa tha’ah). Seperti firman Allah.
“Artinya : Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at dari urusan (agama), maka ikutilah syari’at itu…” [Al-Jatsiyah : 18]
Juga firman-Nya.
“Artinya : Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi kaum yang yakin” [Al-Maidah : 50]
Kedua.
Kembali kepada hukum qadha dan qadar. Hal ini termasuk ke dalam tauhid
rububiyah. Seperti firman Allah. “Artinya : Akan tetapi milik Allah-lah semua perintah” [Ar-Ra’d : 31]
Juga firman-Nya.
“Artinya : Maka bersabarlah dengan hukum Rabbmu” [Al-Qalam : 48]
Demikian pula sangkaan bahwa ‘al-hakimiyah’ adalah kekhususan ilahiyah yang paling khusus, tidak ada asalnya dan ini adalah sangkaan yang diada-adakan. ‘al-hakimiyah’ kadang dimungkinkan untuk makna yang benar, yaitu dikembalikan kepada lafadh syar’i dan nama-nama Allah dan siafat-sifatNya yang warid dalam kitab dan sunnah. Dan kadang mungkin untuk makna yang tidak
ada dalil atasnya, maka yang demikian ditolak.
Karena dalam makna ini ‘al-hakimiyah’ merupakan lafadh yang diada-adakan sebagaimana lafadh-lafadh yang diada-adakan oleh Jahmiyah, Mu’tazilah dan dasar ilmu kalam seperti ‘wajibul wujud, al-qadim, at-takwin’ as-shani’ dan lafadh-lafadh lain yang kadang-kadang mengandung makna haq atau batil atau keduanya sehingga lafadh-lfadah ini merupakan lafadh yang ‘musykilah’ (mengandung permasalahan). Maka makna-maknanya yang hak diterima dan dikembalikan kepada lafadh-lafadh syar’i, dan kita tidak butuh dengan lafadh ‘al-hakimiyah’ atau lainnya. Sedangkan makna yang batil kita tolak lafadh maupun maknanya.
Tidak boleh memaksakan lafadh-lafadh tersebut khususnya yang berkaitan dengan Allah Azza wa Jalla, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya, selama tidak tersebut dalam kitab dan sunnah. Maka kalau begitu ‘al-hakimiyah’ merupakan lafadh yang bermasalah yang tidak dibutuhkan agama ini dan akidah tida tegak di atasnya serta pemahaman mereka
tidak lepas dari sikap yang melampaui batas dalam makna yang dimaksud menurut mereka. Maka penggunaan kata ‘al-hakimiyah’ lebih utama untuk
ditinggalkan.
[Disalin dari Majalah Salafy, Edisi XXI/1418/1997 hal. 17-31]
(Fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani)
——————————————————
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : “Wahai Syaikh kami -semoga
Allah memberkahimu- para ulama salaf -semoga rahmat Allah atas mereka-
menyebutkan bahwa tauhid ada tiga macam yaitu ; Uluhiyah, Rububiyah dan Asma
wa Sifat. Maka, apakah dibenarkan jika kita mengucapkan bahwa di sana
terdapat tauhid yang keempat yaitu ‘Tauhid Hakimiyah’ atau ‘Tauhidul Hukum
?’
Beliau menjawab : “Al-Hakimiyah adalah bagian dari ‘Tauhid Uluhiyah”. Mereka yang mendengung-dengungkan kalimat yang ‘muhdats’ tadi di zaman ini bukanlah
untuk mengajari kaum muslimin tentang tauhid yang dibawa oleh para nabi dan para rasul seluruhnya, melainkan hanyalah sebagai senjata politik. Karena itu aku akan tetap menyatakan untuk kalian apa yang telah aku ucapkan tadi, walaupun sebenarnya sudah berulang kali ditanyakan dan berulang kali aku menjawabnya. Atau kalau kau suka kita lewatkan saja apa yang sedang kita bahas.
Dalam satu kesempatan seperti ini aku telah menyampaikan pendukung apa yang telah aku ucapkan tadi bahwa penggunaan kata ‘hakimiyah’ adalah pelengkap dakwah politik yang merupakan ciri khas beberapa ‘hizb-hizb’ yang ada pada hari ini. Pada kesempatan ini aku sampaikan satu kisah yang terjadi antara aku dengan salah seorang ‘khatib’ di salah satu masjid di Damaskus. Pada hari Jum’at dia berkhutbah yang seluruhnya berkisar tentang ‘hakimiyah’ bagi Allah Azza wa Jalla. Kemudian dia keliru dalam salah satu masalah fiqh.
Ketika selesai shalat Jum’at aku maju kepadanya, aku ucapkan salam kepadanya dan aku katakan kepadanya : “Wahai saudaraku engkau berbuat seperti ini dan hal itu adalah menyelisihi sunnah”. Dia menjawab : “Aku
adalah orang yang bermadzhab Hanafi yang berpedapat dengan apa yang aku kerjakan itu”. Aku berkata : “Subhanallah’, engkau berkhutbah bahwa ‘hakimiyah’ milik Allah Azza wa Jalla dan kalian menggunakan kata itu hanya sekedar untuk memerangi orang-orang yang kalian anggap sebagai hakim-hakim yang telah kafir karena tidak berhukum dengan syari’at Islam.
Sedangkan kalian lupa pada diri kalian sendiri bahwa ‘hakimiyah’ itupun mencakup setiap muslim. Maka mengapa sekarang ketika kusebutkan kepadamu bahwa Rasul berbuat seperti ini, engkau mengatakan bahwa madzhabku demikian. Berarti engkau menyelisihi apa yang kau dakwahkan. Maka, kalau saja tidak karena mereka mengambil kata tersebut sebagai pengantar dakwah politik, tentu kami akan katakan : “Inilah dagangan kami kembali kepada kami”.[1]
Adapun dakwah yang manusia kami seru kepadanya di sana terdapat ‘hakimiyah’ dan selain ‘hakimiyah’ yaitu ‘tauhid uluhiyah’ sebagai tauhid ibadah yang termasuk di dalamnya apa yang mereka dengung-dengungkan. Atas apa yang kalian sebut-sebut ketika kalian mendengung-dengungkan ‘tauhid hakimiyah’, maka kami menyebarkan hadits Hudzaifah Ibnul Yaman bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan kepada para sahabatnya ayat-ayat mulia.
“Artinya : Mereka menjadikan pendeta-pendeta mereka dan ahli-ahli ibadah
mereka sebagai rabb-rabb selain Allah” [At-Taubah : 31]
Adi bin Hatim Ath-Tha’i mengatakan : “Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak pernah menjadikan mereka sebagai rabb-rabb selain Allah”. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bukankah jika mereka mengharamkan untuk kalian apa yang halal, maka kalian mengharamkannya ; dan jika mereka menghalalkan untuk kalian perkara yang haram maka kalian menghalalkannya ?” Dia berkata : “Kalau demikian memang terjadi”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Itulah berarti kalian menjadikan mereka sebagai rabb-rabb selain Allah”.
Kami juga yang menyebarkan hadits ini sampai kepada orang-orang lain hingga kemudian mereka mengembangkan dari ‘tauhid Uluhiyah’ atau tauhid ibadah dengan penamaan yang bid’ah dengan tujuan politik. Maka saya tidak berpendapat adanya istilah seperti ini. Kalau saja mereka mengucapkannya hanya dengan pengakuan tanpa mengamalkan konsekuensinya sebagaimana yang aku sebutkan tadi bahwa dia sudah termasuk dalam tauhid ibadah, tetapi kamu lihat mereka beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang mereka sepakati.
Dan jika dikatakan sebagaimana yang kita sebut dalam kisah tadi bahwa amal ini menyelisihi sunnah atau menyelisihi ucapan Rasul, dia berkata : “Ini Madzhabku”. ‘Alhakimiyah bagi Allah bukan berarti hanya menentang orang-orang kafir dan musyrik saja, akan tetapi juga menentang orang-orang yang melanggar hukum seperti orang-orang yang beribadah kepada Allah tanpa sesuai dengan apa yang datang dari Allah dalam kitab-Nya dan dari Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sunnahnya.
Inilah yang ada dalam benakku tentang jawaban terhadap pertanyaan seperti
ini.
———-
[1] Ini adalah potongan terjemah ayat yang mengisahkan Nabi Yusuf yang maksud beliau adalah bahwa ucapan orang tadi tentang ‘hakimiyah’ kalau saja benar yang dimaksudkan adalah mengajak berhukum dengan hukum Allah tentu kata itu adalah dalil buat Syaikh Al-Albani dalam membantah ‘muta’ashib’ (orang yang ta’ashub) dengan madzhab Hanafi tadi. Yakni berhukumlah dengan hukum kitab wa sunnah jangan berhukum dengan hukum madzhab tertentu.
Barangsiapa Menganggap Bahwa Tauhid Hakimiyyah merupakan Tauhid Keempat, maka ia Mubtadi’ (Ahli Bid’ah)
[Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin]
——————————————————
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Anggota Haiah Kibaril Ulama dan dosen di Fakultas Syari’ah dan Ushuluddien di kota Qashim, Saudi Arabia, ketika ditanya tentang permasalahan ini (Tauhid Hakimiyah), beliau menjawab : “Barangsiapa menganggap bahwa ada bagian keempat dalam (pembagian) tauhid yang disebut ‘tauhid hakimiyah’, maka orang tersebut dianggap ‘mubtadi’. Ini adalah pembagian yang diada-adakan dan timbul dari seorang ‘jahil’ yang
tidak paham tentang perkara aqidah dan agama sedikitpun.
Yang demikian itu karena ‘al-hakimiyah’ termasuk dalam tauhid ‘rububiyah’ dari sisi bahwasanya Allah menghukum dengan apa-apa yang Dia kehendaki. Ia juga termasuk dalam tauhid ‘uluhiyah’ (dari sisi), karena setiap hamba wajib beribadah kepada Allah dengan hukum Allah. Dengan demikian ‘hakimiyah’ tidak keluar dari tiga jenis tauhid, yaitu tauhid ‘rububiyyah’ tauhid ‘uluhiyah’ dan tauhid ‘asma wa sifat’.
Ketika beliau ditanya tentang cara membantah mereka, beliau menjawab : “Saya
membantah mereka dengan bertanya kepada mereka : Apa makna ‘al-hakimiyah ?’
Tidak lain mereka akan mengatakan : ‘inil hukmu illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah). Padahal ini adalah tauhid ‘rububiyah’ Allah. Dia adalah ‘Ar-Rabb’ (Yang Memelihara), ‘Al-Khaliq’ (Yang Menciptakan), ‘Al-Malik’ (Yang Memiliki), ‘Al-Mudabbir’ (Yang Mengatur segala urusan).
Adapun tentang maksud dan niat ucapan mereka ini, sesungguhnya kita tidak mengetahuinya, maka ita tidak bisa memastikannya.
Tidak diperbolehkan Meletakkan Tauhid Hakimiyyah sebagai bagian Khusus dalam Pembagian Tauhid
[Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh]
——————————————————
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh, anggota Haiah Kibarul Ulama di Saudi Arabia dan wakil Mufti’ Am urusan fatwa, berkata tentang permasalahan ini.
Ketika seorang muslim memperhatikan kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia akan mendapati bahwa tauhid ada tiga macam.
1. Tauhid rububiyah yang juga diyakini oleh kaum musyrikin seluruhnya dan tidak ada seorangpun yang menentangnya, yaitu keyakinan bahwa Allah adalah Rabb dan Khaliq (Pencipta) segala sesuatu. Semua jiwa diciptakan di atas tauhid ini. Bahkan Fir’aun yang berkata : ‘Ana Rabbukumul A’la (Aku adalah Rabb kalian yang paling tinggi)’ (sesungguhnya juga meyakini akan hal ini
-pen).
Allah berfirman tentang Fir’aun.
“Artinya : Mereka (Fir’aun dan kaummnya) mendustakan (risalah yang dibawa
oleh Nabi Musa) karena kedhaliman (syirik) dan kesombongannya. Sedangkan
jiwa-jiwa mereka meyakininya” [An-Naml : 14]
2. Apa yang ada dalam kitab Allah berupa penjelasan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya dalam firman-Nya Ta’ala.
“Artinya : Allah memiliki nama-nama yang paling baik, maka berdo’alah kalian
kepada Allah dengannya” [Al-A’raaf : 180]
Begitu pula sifat-sifat Allah di dalam kitab-Nya. Allah mensifati diri-Nya dengan beberapa sifat dan menamai diri-Nya dengan beberapa nama. Dan termasuk konsekwensi iman adalah ‘engkau mengimani nama-nama Allah dan
sifat-sifat-Nya’.
3. Tauhid yang didakwahkan oleh para rasul kepada umat-umat mereka adalah mengikhlaskan agama hanya untuk Allah dan mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah.
“Artinya : Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya : Tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi selain Aku. Maka hendaklah kalian beribadah kepada-Ku” [Al-Anbiya : 25]
Apabila engkau perhatikan Al-Qur’an, maka engkau akan mendapatkan tauhid
dalam pengertian ini.
Allah berfirman.
“Artinya : Dan sungguh jika engkau bertanya kepada mereka : ‘Siapakah yang menciptakan langit-langit dan bumi ?’ Tentu mereka akan menjawab : ‘Allah’ “[Luqman : 25]
Dan firman-Nya.
“Artinya : Katakanlah ; siapakah yang memberi rezki kepadamu dan langit dan
bumi atau siapakah yang mampu (menciptakan) pendengaran dan penglihatan dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang
mati dari yang hidup serta siapakah yang mengatur segala urusan. Maka mereka
akan mengatakan : ‘Allah ?’ [Yunus : 31]
Lalu Allah berfirman.
“Artinya : Kenapa kalian tidak bertaqwa” [Yunus : 31]
Yakni kenapa kalian tidak beribadah kepadaNya dan mengikhlaskan agama hanya
bagi-Nya.
Adapaun tentang ‘al-hakimiyah’, apabila yang dimaksud adalah berhukum dengan
syariat Allah, maka termasuk konsekwensi tauhid seorang hamba kepada Allah
dan pemurnian ibadah hanya kepada Allah adalah berhukum dengan syari’at-Nya.
Barang siapa meyakini bahwa Allah itu Satu, Esa, Tunggal, Tempat bergantung, tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi selain-Nya, maka wajib atasnya berhukum dengan syariat-Nya dan menerima agama-Nya serta tidak menolak sedikitpun dari perkara itu. Dengan demikian, termasuk beriman kepada Allah adalah berhukum dengan syari’at-Nya, melaksanakan
perintah-perintah-Nya, meninggalkan dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta
berhukum dengan syari’at Allah dalam setiap keadaan. Jika demikian halnya
maksud ‘al-hakimiyah’ berarti termasuk dalam tauhid uluhiyah dan tidak boleh
menjadikan ‘al-hakimiyah’ sebagai bagian khusus yang dipisahkan karena ia
termasuk bagian dalam tauhid ibadah.
Masalah Al Hakimiyah Merupakan Perkara yang Baru (Diada-adakan, sebelumnya tidak dikenal)
[Fatwa Syaikh Dr Nashir bin Abdul Karim Al’Aql]
——————————————————
Syaikh Dr Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, guru dalam bidang aqidah dan madzhab-madzhab Al-Mua’asharah Fakultas Ushuluddin di Riyadh, cabang Universitas Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyah, mengatakan bahwa
pembicaraan tentang masalah Al-Hakimiyah termasuk perkara-perkara baru yang
tidak pernah disebut di kalangan Salaf dengan istilah ini. Apabila kita sodorkan permasalahan ini dengan kaidah-kaidah Salaf dalam hal nama-nama dan sifat-sifat Allah serta perbuatanNya, maka kita ketahui bahwa Al-hakimiyah dengan lafadh ini tidak ada asalnya secara syari’at. Tinggal sebagai lafadh
global yang mengandung pengertian banyak.
Hal itu karena nama-nama Allah dan
sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya adalah perkara ‘taufiqiyah’ (yang hanya ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya), tidak boleh menamai Allah Ta’ala atau mensifati-Nya kecuali dengan apa-apa yang Allah mensifati diri-Nya dengannya atau yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mensifati-Nya dengannya. begitu juga ucapan bahwasanya ‘al-hakimiyah’ merupakan bagian tauhid keempat tidaklah benar karena masalah hakimiyah mempunyai dua makna.
Pertama.
Kembali pada makna tasyri’ dan perkara syar’i. Hal ini masuk ke dalam tauhid ilahiyah (tauhid ibadah wa tha’ah). Seperti firman Allah.
“Artinya : Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at dari urusan (agama), maka ikutilah syari’at itu…” [Al-Jatsiyah : 18]
Juga firman-Nya.
“Artinya : Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi kaum yang yakin” [Al-Maidah : 50]
Kedua.
Kembali kepada hukum qadha dan qadar. Hal ini termasuk ke dalam tauhid
rububiyah. Seperti firman Allah. “Artinya : Akan tetapi milik Allah-lah semua perintah” [Ar-Ra’d : 31]
Juga firman-Nya.
“Artinya : Maka bersabarlah dengan hukum Rabbmu” [Al-Qalam : 48]
Demikian pula sangkaan bahwa ‘al-hakimiyah’ adalah kekhususan ilahiyah yang paling khusus, tidak ada asalnya dan ini adalah sangkaan yang diada-adakan. ‘al-hakimiyah’ kadang dimungkinkan untuk makna yang benar, yaitu dikembalikan kepada lafadh syar’i dan nama-nama Allah dan siafat-sifatNya yang warid dalam kitab dan sunnah. Dan kadang mungkin untuk makna yang tidak
ada dalil atasnya, maka yang demikian ditolak.
Karena dalam makna ini ‘al-hakimiyah’ merupakan lafadh yang diada-adakan sebagaimana lafadh-lafadh yang diada-adakan oleh Jahmiyah, Mu’tazilah dan dasar ilmu kalam seperti ‘wajibul wujud, al-qadim, at-takwin’ as-shani’ dan lafadh-lafadh lain yang kadang-kadang mengandung makna haq atau batil atau keduanya sehingga lafadh-lfadah ini merupakan lafadh yang ‘musykilah’ (mengandung permasalahan). Maka makna-maknanya yang hak diterima dan dikembalikan kepada lafadh-lafadh syar’i, dan kita tidak butuh dengan lafadh ‘al-hakimiyah’ atau lainnya. Sedangkan makna yang batil kita tolak lafadh maupun maknanya.
Tidak boleh memaksakan lafadh-lafadh tersebut khususnya yang berkaitan dengan Allah Azza wa Jalla, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya, selama tidak tersebut dalam kitab dan sunnah. Maka kalau begitu ‘al-hakimiyah’ merupakan lafadh yang bermasalah yang tidak dibutuhkan agama ini dan akidah tida tegak di atasnya serta pemahaman mereka
tidak lepas dari sikap yang melampaui batas dalam makna yang dimaksud menurut mereka. Maka penggunaan kata ‘al-hakimiyah’ lebih utama untuk
ditinggalkan.
[Disalin dari Majalah Salafy, Edisi XXI/1418/1997 hal. 17-31]
0 comments:
Post a Comment