Manhaj Dakwah Para Nabi – Bantahan atas HT

768
0
BERBAGI
Kata Pengantar Manhaj Dakwah Para Nabi
oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
Sejumlah jamaah dakwah yang ada pada masa kini, merupakan contoh yang sangat memprihatinkan. Mereka sengaja membuat khittah perjuangan sebagai manhaj dakwahnya, sedangkan manhaj itu bertentangan dengan manhaj para Rasul.
Manhaj dakwah mereka lalai akan seruan yang sangat prinsip, kecuali hanya sedikit, yaitu seruan penegakkan akidah. Mereka justru berkutat habis dalam memperjuangkan masalah lainnya. Adakalanya menyeru kepada kebaikan sistem pemerintahan, politik, dan tuntutan tegaknya hukum dan pelaksanaan syariat dalam memutuskan perkara yang timbul di antara manusia.
Walaupun perjuangan dalam hal-hal tersebut adalah persoalan penting, namun bukan hal yang terpenting.
Bagaimana kita menuntut ditegakkannya pelaksanaan hukum Allah terhadap pencuri, pezina, dan lainnya sebelum kita menuntut dilaksanakannya hukum Allah subhanallahu wa Ta’ala atas diri orang musyrik? Mengapa kita menuntut dilaksanakannya hukum Allah subhanallahu wa Ta’ala atas perkara riba, sebelum kita menuntut pelaksanaan hukum Allah bagi hamba-hamba pengabdi keberhalaan dalam berbagai bentuknya dan atas orang-orang yang ingkar terhadap Asma’ Allah subhanallahu wa Ta’ala dan sifat-Nya, mereka yang men-ta’thil (menolak meyakini) sejumlah dalil yang menunjukkan kepada kebenarannya?
Tidakkah kemusyrikan itu lebih durhaka dibandingkan zina, pencurian, dan memakan riba? Sebenarnya zina, mencuri, dan sejenisnya adalah perbuatan yang menyangkut hak hamba, sedangkan kemusyrikan adalah suatu tindak kejahatan yang menyangkut hak Allah ‘azza wa jalla. Bukankah hak Allah harus ditunaikan lebih dahulu dibandingkan hak hamba?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, berpendapat bahwa dosa-dosa seperti zina, minum khamr, dan mencuri selama masih disertai dengan lurusnya tauhid, akan lebih baik dibandingkan dengan rusaknya tauhid tetapi tidak disertai perbuatan-perbuatan dosa tersebut. (Al Istiqamah, volume I halaman 466)
Termasuk dalam jamaah yang perlu meluruskan manhaj dakwahnya, adalah jamaah yang dalam perjuangannya lebih memfokuskan kepada persoalan syiar-syiar ta’abbudi, berusaha keras untuk mengerjakan zikir-zikir verbal mengikuti metode sufisme, atau mengutamakan kegiatan rihlah, melakukan perjalanan dan rekreasi dalam dakwahnya. Mereka berharap sebanyak mungkin orang dapat bisa berhimpun bersama dalam kegiatan-kegiatan semacam itu, namun tidak memberikan perhatian yang cukup bagi penegakkan akidah. Inilah jalan yang ditempuh ahli bid’ah, karena mereka memutarbalikkan marhalah yang ditempuh para Rasul. Yang tejadi adalah yang semestinya di belakang dijadikan di depan, yang seharusnya diakhirkan didahulukan, bermaksud mengobati suatu bagian dari tubuh namun hakikatnya dengan membiarkan organ yang paling penting tetap dan bertambah rusak, sebab akidah dalam tubuh kita ini adalah bagian yang paling pokok.
Kiranya sejumlah jamaah dakwah yang ada pada saat sekarang ini, perlu memperhatikan dan mengenali kembali manhaj dakwah menuju Allah ‘azza wa jalla, dengan mengambil rujukan kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika kita telusuri kembali sejarah perjuangan para Rasul, maka kita dapat saksikan bahwa dialog-dialog antara para Rasul dan pembesar-pembesar dari kaumnya, justru terjadi setelah disampaikan perkara akidah yang benar, agar mereka mengabdi kepada Allah subhanallahu wa ta’ala saja dan meninggalkan seluruh bentuk ibadah yang ditujukan kepada selain-Nya.
Dalam bahasa lain, kekuasaan dan pemerintahan baru bisa diperoleh oleh jamaah dakwah setelah tersebarnya dan diterimanya seruan akidah yang benar yang mengajak manusia hanya beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla saja.
Marilah kita perhatikan janji Allah subhanallahu wa ta’ala yang pasti ditepati jika kita telah memenuhi kriteria orang yang beriman sebagaimana firman-Nya :
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yang tetap kufur sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik. (QS. An Nur : 55)
Sedemikian jelas janji itu, namun kita saksikan sekarang ini sejumlah jamaah dakwah menghendaki tegaknya Daulah Islamiyah sementara akidah-akidah Watsaniyyah Al Mutamatsilah (akidah keberhalaan dengan segala bentuknya) masih menjadi anutan penduduk negerinya. Masih banyak orang yang menyembah orang mati dan menjalin kontak dengan kuburan-kuburan, suatu praktek kemusyrikan besar yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para penyembah Latta dan Uzza serta Manat, bahkan jauh lebih sesat darinya.
Siapa yang menginginkan keluhuran tanpa harus bekerja keras, maka untuk memperolehnya haruslah dengan menyia-nyiakan umur.
Jika kita berkeras untuk menegakkan hukum syariat, yang berarti penegakkan hukum perdata maupun pidana, serta penegakkan Daulah Islamiyah, menjauhi larangan-larangan dan mengerjakan seluruh kewajiban yang semuanya itu merupakan perkara-perkara yang termasuk hak-hak tauhid berikut kesempurnaannya tidakkah itu berarti bahwa kita tengah berusaha untuk memenuhi hak-hak tauhid, sedangkan tauhid yang prinsip itu sendiri kita abaikan? Konsekuensi tauhid didahulukan sedangkan tauhidnya sendiri tertinggal jauh di belakang? Tidakkah itu berarti menegakkan yang furu sedangkan yang paling ushul ditelantarkan?
Menurut hemat kami, apa yang terjadi pada jamaah-jamaah yang berdiri di atas manhaj yang bertentangan dengan manhaj para Rasul dalam metode dakwahnya kepada Allah subhanallahu wa ta’ala adalah suatu kebodohan, padahal bagi orang jahil tidak patut menjadi da’i, sebab temasuk persyaratan terpenting dalam dakwah adalah ilmu, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla :
Katakanlah : “Inilah jalan (Dien) ku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf : 108)
Kita perhatikan bahwa jamaah-jamaah dakwah yang menisbatkan kepada kepentingan dakwah memiliki khittah dan manhaj yang berbeda-beda. Khittah suatu jamaah tidak dimiliki jamaah lainnya. Ini merupakan satu indikasi bahwa manhaj jamaah tersebut bertentangan dengan manhaj para Rasul, sebab manhaj para Rasul itu hanya satu, tidak terbagi-bagi, tidak bermacam-macam, dan tidak pula ada ikhtilaf sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla yang tertera pada surat Yusuf di atas.
Maka jika benar jamaah dakwah itu mengikuti manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti jalan yang satu ini pasti mereka tidak saling ikhtilaf. Adanya ikhtilaf dikarenakan bertentangan dengan jalan ini. Allah subhanallahu wa ta’ala berfirman :
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. (QS. Al An’am : 153)
Perbedaan dan pertentangan manhaj antar jamaah justru membahayakan bagi Islam itu sendiri, sehingga kita layak untuk menolak masuk ke dalamnya, berlepas darinya, dan tidak menggolongkannya ke dalam jamaah dakwah Islam, sebab telah jelas bahwa mereka bukan dari Islam, tak memiliki kesesuaian dengan manhaj Islam, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolong-golongan, tak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. (QS. Al An’am : 159)
Telah menjadi keyakinan yang pasti, Islam selalu menyeru kepada persatuan (ijtima) di atas kebenaran, sebagaimana firman-Nya :
Dan hendaklah kalian semuanya berpegang teguh kepada tali (Dien) Allah dan janganlah kamu (sekali-kali) bercerai-berai. (QS. Ali imran : 103)
Dengan memperhatikan keadaan jamaah dakwah yang sedemikian memprihatinkan itu, maka wajib bagi bangkitnya jamaah ulama untuk menjelaskan manhaj jamaah yang benar, sebagaimana manhaj para Nabi dalam dakwah kepada Allah subhanallahu wa ta’ala, serta menyingkap pergeseran dan penyimpangan dari manhaj tersebut yang kini dialami oleh sejumlah jamaah dakwah. Dengan demikian diharapkan jamaah-jamaah itu dengan penuh kesadaran dapat melakukan koreksi sampai kebenaran ditemukan dan dipegang teguh. Sebenarnya Al Haq itu merupakan barang yang hilang bagi Mukmin.
Manhaj Dakwah Para Nabi
oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al Madkhaly
Syaikh Rabi’ menggambarkan jalan dakwah yang pernah dilalui oleh para Nabi ‘alaihimus sallam :
Nabi Nuh ‘alaihis sallam
Nabi Nuh ‘alaihis sallam hidup dalam kurun waktu yang sangat panjang, 950 tahun. Seluruh usianya dihabiskan untuk kepentingan dakwah menyeru kaumnya kepada tauhidullah dan ikhlas beribadah kepada Allah subhanallahu wa ta’ala. Tidak ada rasa putus asa dan letih, siang dan malam, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, senang maupun tidak senang, manis maupun pahit, janji dan ancaman disampaikannya kepada kaumnya. Dilancarkannya dakwah dengan hujjah dan dalil yang dapat diterima akal maupun perasaan. Diajaknya kaumnya untuk mengenal Allah ‘azza wa jalla dengan memperhatikan kehidupan diri mereka maupun segala yang terjadi di sekeliling mereka seperti hujan, langit, bulan, dan matahari, berbagai tanda dan ibrah. [Kisah beliau dalam berdakwah diabadikan dalam QS. Nuh ayat 1-25].
Namun mereka tak sedikitpun mengambil manfaat dari dakwah itu dan bahkan tak bergeming sejengkalpun untuk menerima seruan tersebut. Mereka telah berketetapan hati memilih kekafiran dan kesesatan disertai dengan kesombongannya. Mereka tetap mempertahankan menyembah patung-patung dan sesembahan-sesembahan mereka yang bathil. Itu merupakan hasil dari sikap kebandelan mereka, kesombongan mereka, keinginan mereka terhadap kehancuran dan kerusakan dunia. Sungguh di akhirat kelak mereka akan mendapatkan siksa api neraka. Keteguhan Nuh ‘alaihis sallam yang tiada tara mengundang berbagai pertanyaan penting yaitu mengapa Nuh ‘alaihis sallam bertahan dengan manhaj dakwahnya, sedemikian gigih tidak mengenal bosan dan putus asa menyeru kaumnya kepada prinsip ketauhidan ini?
Mengapa Allah subhanallahu wa ta’ala memujinya dengan sanjungan yang luar biasa mengabadikan kegigihannya dalam Al Qur’an dan menggolongkannya dalam kelompok 5 (lima) Rasul yang bergelar Ulul Azmi dari sekian banyak Rasul lainnya?
Apakah dakwah tauhid pantas menyita seluruh perhatian dan pencurahan waktu sekian lamanya? Apakah manhaj ini yang telah menghabiskan rentang waktu penyampaian dakwah yang sedemikian panjang yang telah dilakukan oleh Nabi yang mulia ini tidak diterima rasio, tak tecerna oleh akal sehat, tidak dapat menembus tabir hikmah? Ataukah proses dakwah itu justru merupakan sumber hikmah, pencerminan rasio yang sehat dan akal yang penuh pertimbangan?
Mengapa Allah subhanallahu wa ta’ala menetapkan Nuh ‘alaihis sallam mengikuti manhaj ini di dalam dakwah sehingga menghabiskan waktu 950 tahun dan Allah subhanallahu wa ta’ala mengabadikan nama dan kisahnya, memberikan taklif kepada Rasul-Rasul terbesar dan manusia yang berakal baik agar menjadikan dia sebagai uswah dalam hal manhaj dakwahnya dan dalam hal kesabarannya? Jawaban yang adil atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah bahwa dakwah itu tegak di atas akal dan hikmah.
Jika memang terdapat manhaj yang paling baik dan paling lurus, berupa manhaj yang dipilih-Nya untuk Rasul-Rasul-Nya, maka apakah patut seorang Mukmin berpaling dari manhaj ini dan memilih manhaj yang lain untuk dirinya, serta berlaku dhalim terhadap manhaj Rabbani dan terhadap da’i-da’i-Nya?
Nabi Ibrahim ‘alaihis sallam
Beliau adalah bapak para Nabi dan imam pemersatu yang mentauhidkan Allah. Allah telah memerintahkan kepada penghulu para Rasul dan penutup para Nabi yakni Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut umatnya untuk mengikuti Ibrahim ‘alaihis sallam, meneladani dakwahnya serta berpegang pada petunjuk dan manhajnya. Perintah itu tertera pada firman Allah ‘azza wa jalla :
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) : Ikutilah millah Ibrahim, seorang yang hanif. Dan bukanlah dia seorang yang termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. (QS. An Nahl : 123)
(Kisah perjalanan dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis sallam diabadikan dalam QS. Al An’am : 74-83, Maryam : 41-50, Al Anbiya’ : 51-73)
Sesunguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang mampu mengantarkan para Nabi seluruhnya menjadi manusia mulia lagi perkasa, kokoh, dan tegar dalam memadamkan kebathilan dan kejahilan. Karena itu jahil akan ilmu tauhid –ilmunya para Nabi yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar dan menyelamatkan dari kesesatan dan kemusyrikan– adalah kejahilan yang dapat membunuh akal dan nurani.
Marilah kita simak kembali ajakan Ibrahim ‘alaihis sallam yang diabadikan dalam ayat-ayat-Nya : “Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku ilmu pengetahuan yang tidak ada padamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.”
Ibrahim ‘alaihis sallam mengembara dalam medan dakwah dengan berbekal semangat keilmuan yang tinggi. Ia hadapi bapaknya dan kaumnya dengan hujjah-hujjah yang akurat dan tak terbantahkan. Dengan semangat keilmuan itu pula ia berhadapan langsung dengan sang penguasa tiran yang kekejian dan watak kesewenang-wenangannya, serta kekuatan yang dalam pada genggamannya telah menciutkan nyali setiap orang, sehingga ia bahkan dipertuhankan oleh rakyatnya. Namun Ibrahim ‘alaihis sallam tak sejengkalpun surut selangkah. Dihadapinya Namrud, si tiran besar itu, seorang diri! Semangatnya yang tinggi, ketegarannya yang sekeras granit, dan keyakinannya yang teguh telah membuat rasa takut menghadapi resiko, menyingkir jauh.
Allah subhanallahu wa ta’ala berfirman :
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Rabbnya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan : “Rabbku adalah yang menghidupkan dan mematikan.” Orang itu berkata : “Akupun dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata : “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur maka terbitkanlah ia dari barat.” Lalu heran terdiamlah orang kafir itu dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim. (QS. Al Baqarah : 258)
Andaikan Ibrahim ‘alaihis sallam dalam seruan dakwahnya itu bertujuan untuk memperoleh kekuasaan, tentu ia akan menempuhnya dengan suatu manhaj yang berbeda. Namun para Nabi, para da’i yang shalih yang mengikuti para Nabi, hanya berpegang kepada manhaj yang ditetapkan Allah subhanallahu wa ta’ala, sebab manhaj tersebut adalah haq pada setiap jaman dan tempat. Para Nabi dan penerus risalahnya hanya menempuh jalan hidayah dan bimbingan, menegakkan hujjah, dan menjelaskan kebenaran kepada orang-orang sombong lagi penentang. Demikianlah Ibrahim ‘alaihis sallam dalam dakwahnya menempuh manhaj yang telah ditetapkan Allah, lain tidak. Dan Ibrahim ‘alaihis sallam benar-benar telah menjalankan kewajiban besar ini secara sempurna dan tuntas., menegakkan hujjah kepada bapaknya dan kaumnya, baik penguasa maupun rakyat biasa. Ketika ia menghadapi kenyataan bahwa mereka tetap mempertahankan kemusyrikan dan kekufurannya tak beranjak dari kebathilan dan kesesatan, Ibrahim ‘alaihis sallam lalu melindungi diri. Ditolak dan ditentangnya kesesatan itu dan dimulailah perjuangan untuk merubahnya dengan kekuatan yang ia sanggupi.
Pertanyaannya kini adalah, dari manakah Ibrahim memulai perubahan itu. Uslub atau metoda apakah yang benar dan bijaksana untuk mengubah sikap keras kaumnya, yaitu bapaknya, penguasanya, dan rakyat jelata di sekelilingnya yang tak hendak beranjak dari kubangan kesesatan dan kemusyrikan?
Sesungguhnya Ibrahim murka, karena mesti hidup di bawah bayang-bayang penguasa dhalim yang mendakwakan dirinya memiliki sifat rububiyyah, mengapa Ibrahim yang perkasa dan tak kenal gentar ini tidak melancarkan perjuangan revolusioner dalam menghadapi penguasa yang kafir lagi bertangan besi, yang dipertuhankan, yang ditanganyalah berawal segala bentuk tindak kerusakan dan kemusyrikan sehingga tegaklah Daulah Ilahiyyah dengan Ibrahim ‘alaihis sallam sebagai pemimpinya?
Jawaban teramat jelas, para Nabi yang suci terhindar dari jalan-jalan yang hanya layak ditempuh oleh orang dhalim, jalan-jalan yang penuh kegelapan dan kebodohan, penuh dengan tipu daya orang-orang dungu, yang hanya menuntut imbalan duniawi dan kekuasaan semata. Para Nabi adalah para da’i yang menyeru kepada tauhidullah dan membawa petunjuk kepada jalan kebenaran, serta menyelamatkan dari kebathilan dan kemusyrikan. Maka jika mereka hendak melakukan perubahan, sebagai orang yang paling waras akalnya, mereka memulai dengan memperbaiki perkara-perkara yang menjadi sumber segala malapetaka, yaitu masalah kemusyrikan, kesesatan yang hakiki. Demikian pula halnya yang dilakukan oleh Ibrahim ‘alaihis sallam, yang berhati sabar, bijaksana lagi lurus dalam bertindak, disamping sebagai pahlawan yang keberaniannya sulit dicari bandingannya.
Nabi Yusuf ‘alaihis sallam
Yusuf ‘alaihis sallam sebelumnya pernah mengecap kehidupan di dalam istana, sehingga ia mengetahui persis kebobrokan pemerintah dan penguasanya dari dekat. Ia merasakan kekejaman mereka, tipu daya, dan kedhaliman mereka. Terlebih dari itu, Yusuf ‘alaihis sallam hidup ditengah-tengah pusat kesesatan penyembahan berhala, sapi, dan bintang-bintang. Lalu darimana ia harus memulai mengadakan perbaikan dan perombakan? Dari titik mana harus memulai berangkat?
Tak ragu lagi, jalan perbaikan satu-satunya yang berlaku pada setiap jaman dan tempat adalah jalan dakwah, menyeru kepada akidah dan tauhid serta ikhlas dalam beribadah hanya kepada Allah subhanallahu wa ta’ala. Lain tidak.
Maka Yusuf ‘alaihis sallam pun memulai dakwah seperti bapak-bapak pendahulunya karena mereka itu adalah qudwah baginya. Merekalah orang-orang yang mulia dan perkasa karena akidah mereka, yang selalu menganggap hina kaum musyrikin karena kelemahan nalar dan kerapuhan hujjah kaum sesat itu.
Setelah Yusuf ‘alaihis sallam menyampaikan dakwah tauhidullah dengan keterangan yang jernih dan tegas, ia singkap tabir kemusyrikan lalu ia memperkuat dakwah dan hujjahnya dengan berpegang pada firman-Nya :
Keputusan itu hanyalah keputusan Allah Jalla Jallalahu
Ayat ini merupakan kaidah yang asasi dari kaidah-kaidah tauhid, seperti yang ditegaskan-Nya kepada Yusuf ‘alaihis sallam.
Setelah memperhatikan manhaj dakwah di atas, kita merasa prihatin bila pada saat ini kita acap kali menyaksikan betapa banyak da’i yang berorientasi kepada politik, menafsirkan ayat ini jauh sekali dari semestinya. Pengertian asasi “ikhlas beribadah kepada Allah subhanallahu wa ta’ala semata”, mereka simpangkan menjadi pengertian yang amat politis yaitu penegakkan Daulah. Mereka dakwahkan dari sinilah syariat Allah dapat ditegakkan di muka bumi. Fikrah ini disampaikan kepada umat, sehingga sebagian mereka lupa makna sebenarnya dari ayat-ayat Allah subhanallahu wa ta’ala ini. Sungguh, mereka tidak memahaminya, kecuali dengan pengertian yang baru … . La haula wa la quwwata illa billah.
Nabi Musa ‘alaihis sallam
Musa ‘alaihis sallam, dialah Nabi yang pernah diajak berbicara oleh Allah. Dia adalah seorang yang kuat lagi dipercaya. Ia berdakwah menyeru kepada tauhid dan membawa bendera dakwahnya di bawah panduan cahaya hidayah dan hikmah.
Musa ‘alaihis sallam, dibesarkan di dalam istana penguasa yang paling dhalim lagi dipertuhankan. Dia saksikan benar kerusakan, kekufuran, kesewenang-wenangan, kedhaliman, dan kediktatoran yang terjadi di istana dan pusat pemerintahan Fir’aun. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri penindasan yang menimpa Bani Israil. Mereka diperbudak, dihina dina, dan direndahkan derajatnya. Penguasa tiran itu membiarkan generasi perempuannya tetap hidup, sementara generasi laki-laki dimusnahkan. Inilah kedhaliman terburuk yang tercatat dalam sejarah umat manusia.
Allah subhanallahu wa ta’ala berfirman :
Sesungguhnya Fir’aun berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka, dan membiarkan hidup anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al Qashash : 4)
Kaum Fir’aun adalah termasuk ahli syirik sejati dan penyembah berhala, watsaniyyah. Menghadapi kaumnya yang sedemikian remuk sendi-sendinya, bagaimanakah Musa ‘alaihis sallam memulai dakwahnya? Adakah ia memulainya dengan upaya memperbaiki umat keberhalaan dengan cara menyerang pemerintahan yang berkuasa serta memaklumatkan perjuangan menegakkan Daulah Islamiyyah? Adakah ia merebut kekuasaan dari tangan diktator besar di bawah pimpinan Fir’aun yang dipertuhankan itu? Tidak demikian.
Dakwah Musa ‘alaihis sallam tidak berbeda dengan dakwah bapak-bapak pendahulunya dan juga saudara-saudaranya para Nabi. Allah telah mengajarkan dengan baik pokok ketauhidan dan memilihnya sebagai urusan yang mampu memikul risalah-Nya dan menegakkannya dalam rangka pengabdian tulus kepada-Nya.
Itulah dakwah para Nabi dan teristimewa yang tergolong Ulul Azmi di antara sejumlah Nabi yang jumlahnya 124.000 Nabi. (HR. Bukhari dalam Tarikh Al Kabir 5/447, Ahmad dalam Musnad 5/178 dari Abu Dzar)
Mereka semua berjalan mengikuti manhaj yang satu dan berangkat dari satu titik yang sama, yaitu At Tauhid, suatu perkara yang terbesar dan sangat asasi, yang dibebankannya kepada seluruh manusia dalam seluruh generasi mereka dan dalam berbagai kelompok, negeri, maupun jaman mereka.
Hal ini menunjukkan jalan yang satu yang wajib diikuti dalam dakwah menyeru manusia kepada (jalan) Allah subhanallahu wa ta’ala dan Sunnah-Sunnah-Nya yang diperintahkan kepada para Nabi-Nya dan para pengikut mereka yang shadiq, tidak boleh merubahnya, dan tidak boleh berlaku dhalim atau menyimpang darinya.
Penutup
Sesungguhnya seluruh Nabi ‘alaihimus sallam memulai dakwahnya dengan memperbaiki segi akidahnya dan memerangi kemusyrikan. Dan bahwa kerusakan-kerusakan yang berkaitan dengan masalah akidah manusia, berupa kemusyrikan, khurafat, dan bid’ah, jauh lebih berbahaya daripada kerusakan-kerusakan di bidang hukum dan pemerintahan. Kita harus memiliki keyakinan demikian, sebab para Nabi sendiri berkeyakinan seperti itu. Kerusakan akidah itu sendiri telah menjadi bagian dari kebanyakan penguasa dan rakyatnya.
Allah subhanallahu wa ta’ala tidak membebani para pembawa risalah untuk menjatuhkan suatu Daulah demi tegaknya Daulah yang lain. Allah subhanallahu wa ta’ala tidak pula membebani mereka untuk mencapai tujuan kekuasaan, karena dakwah yang menempatkan penegakkan Daulah sebagai tujuan pertama dan utama tidak akan terlepas dari tendensi mencari kekuasaan dunia, kedudukan, dan jabatan. Dan usaha pencapaian kekuasaan sering diperani oleh orang-orang rakus dan dengki. Tak jarang muncul sekelompok juru dakwah yang berjuang untuk menegakkan Daulah, namun terselinap niat untuk merealisasikan dorongan nafsu, kerakusan, dan dorongan untuk memperoleh hajat yang mereka idamkan.
Sesungguhnya dakwah mengajak orang untuk menegakkan Daulah jauh lebih mudah dan bahkan lebih cepat mendapat pengikut, sebab kebanyakan manusia menghendaki perolehan dunia dan pemenuhan hawa nafsu. Namun karena sedemikian banyak kendala dan kesulitan dalam menempuh jalan dakwah para Rasul, sedemikian besar kesabaran yang dituntut, maka kita dapati bahwa teramat sedikit orang yang bersedia mengikutinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada awal kenabiannya telah ditawari kedudukan sebagai penguasa Makkah, namun beliau menolak kecuali setelah menyelesaikan dakwah tauhidullah dan menumpas kemusyrikan.
Allah menganugerahkan kepemimpinan atas umat yang menegakkan tauhid. Kekuasaan itu adalah buah kebaikan yang dipetik karena keimanan mereka. Anugerah Daulah itu pada gilirannya dilimpahkan kepada mereka karena keteguhan mereka dalam menegakkan kalimat Allah, karena kejujuran mereka, amal shalih mereka dan usaha mereka untuk melaksanakan syariat Allah. Anugerah itulah yang diperoleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikutnya, karena kesabaran mereka dalam menempuh manhaj dakwah yang haq, menghadapi kekejian dan kebrutalan kaum musyrikin. Allah telah menolong Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta shahabatnya, memenangkan Dien yang mereka bela, dan mengokohkan mereka di atas bumi. Marilah kita pegang janji Allah subhanallahu wa ta’ala :
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal shalih. Bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka yang berkuasa. Dan sungguh Dia akan mengukuhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku … . (QS. An Nur : 55)
Dari penjelasan di atas adakah kesesuaian (mulai dari awal sampai akhirnya) antara manhaj dakwah dan akidah para Nabi dengan manhaj dakwah dan akidah Hizbut Tahrir?
Jawabannya adalah tidak ada sama sekali. Hal ini sekaligus merupakan bukti kedustaan pengakuan Hizbut Tahrir bahwa dakwah mereka dilandasi oleh sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sudah menjadi keharusan apabila aktifitas dakwah telah bergeser dari asas dan pondasinya maka perjuangan dakwah itu menjadi lumpuh dan tidak lurus lagi serta tidak akan pernah membuahkan hasil yang dikehendaki, sekalipun seluruh waktu, tenaga, dan upaya telah habis tercurah.
——————————————————
[29] Fii Dzilalil Qur’an 4/2122.
[30] Mengenal Hizbut Tahrir halaman 9.
· Madarikun Nadlar fis Siyasah, Syaikh Abdul Malik Al Jazairy.
(Selesai Bagian Kedua)
[Kumpulan Risalah Ilmiyah – Dinukil dari Buku Bagian Kedua – Hizbut Tahrir Mu’tazilah Gaya Baru, Cahaya Tauhid Press]